Oleh:
KOMPAS.com - Dalam konteks peternakan sapi, Indonesia dan Australia tak layak dibandingkan karena bukan perbandingan apel ke apel. Meski demikian, saya ingin menyajikan dinamikanya dan bagaimana akhir perbandingan tersebut saat ini.
Di Indonesia lebih dari 98 persen ternak dikuasai 6,5 juta peternak kecil dengan skala kepe- milikan 2-3 ekor per peternak. Ternak dipelihara di belakang rumah dan peternak memberi makan di sisa waktunya setelah usaha pokoknya selesai. Hanya kurang dari 2 persen sapi ternakan dikuasai perusahaan ternak besar di Indonesia. Yang dipelihara pun sapi bakalan dari Australia.
Di Australia sapi ternakan dikuasai hanya ratusan peternak besar dengan skala kepemilikan puluhan ribu ekor per peternak. Ternak dipelihara di lahan pastura puluhan ribu hektar. Ini satu beda pokok. Masih banyak beda lain yang semuanya mengarah pada daya saing peternakan sapi di Australia jauh lebih tinggi daripada di Indonesia.
Di Australia pada Juni 2013 harga daging sapi Rp 37.830 per kg, lebih rendah ketimbang harga pada Desember 2012: Rp 42.195 per kg. Mungkin salah satu penyebab penurunan harga itu dipicu kebijakan Pemerintah Indonesia membatasi impor daging sapi dan impor sapi.
Di Indonesia sebaliknya. Sejak November 2012, harga daging sapi naik hingga menembus Rp 100.000 per kg pada Juni 2013. Padahal, harga yang wajar menurut beberapa peternak Rp 75.000. Berdasarkan harga itu, sangat jelas konsumen di Indonesia paling dirugikan. Idealnya konsumen membeli daging dengan harga murah, tetapi peternak tetap untung.
Kalau membuat harga daging murah dengan bebas membuka keran impor daging dari Australia, peternak yang buntung seperti kejadian pada tahun 2009 dan 2010. Jadi, itu cara yang tidak pas. Perlu dicari solusi agar terjadi keseimbangan yang menguntungkan peternak sebagai produsen dan konsumen.
Pandangan saya begini. Karena ada pengetatan kuota impor daging sapi dan impor sapi bakalan, pengusaha penggemukan sapi (PPS) membeli sapi bakalan dari peternak kecil. PPS ini pada posisi membutuhkan sapi sehingga harga sapi bakalan di peternak lumayan tinggi dan peternak pun semringah.
Namun, tingginya harga di peternak kecil masih masuk kalkulasi untung di pihak PPS. Akibatnya, para belantik (perantara) gigit jari karena kesulitan mendapatkan sapi. Peternak lebih suka menjual sapi kepada pengusaha besar daripada kepada belantik karena harga lebih baik. Hanya peternak yang terdesak situasi saja yang melepas sapinya kepada belantik.
Hal ini berimbas kepada para jagal kecil. Pasokan sapi sulit didapat sehingga daging di pasaran langka. Hukum ekonomi pun berjalan: harga daging melonjak naik. Situasi seperti ini mulai tampak sejak November 2012.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.