Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Kisah Jadwal Imsakiyah

Kompas.com - 19/07/2013, 16:21 WIB

Waktu Maghrib dimulai pada saat terbenamnya Matahari dan berakhir pada saat Isya’.

Dan waktu Isya’ berawal pada saat cahaya senja senyata (syafaq ahmar) tepat menghilang dari cakrawala barat dan berakhir pada saat Shubuh.

Definisi tersebut lantas diturunkan dalam elemen geometris Matahari. Pada penurunan inilah ada sedikit perbedaan antara Indonesia dengan mancanegara. Bagi waktu Dhuhur, ‘Ashar dan Maghrib memang tak dijumpai perbedaan. Tidak demikian halnya bagi waktu Isya’ dan Shubuh, yang memiliki pilihan berbeda seperti dari Egyptian General Authority of Survey (EGAS), Islamic Society of North America (ISNA), Moslem World League (MWL) dan University of Islamic Sciences Karachi (Pakistan).

Pilihan-pilihan tersebut mendeskripsikan tinggi Matahari bagi waktu Isya’ dan Shubuh yang berbeda-beda. Misalnya, dalam pilihan EGAS tinggi Matahari untuk waktu Isya’ dan Shubuh masing-masing adalah -17,5 derajat (di bawah cakrawala barat) dan -19,5 derajat (di bawah cakrawala timur). Namun bagi ISNA pilihannya adalah sama-sama -15 derajat baik untuk Isya’ maupun Subuh.

Kementerian Agama tidak menggunakan satupun pilihan itu, namun memiliki opsinya sendiri merujuk pendapat (alm) Saadoe’din Djambek. Waktu Isya ditetapkan tinggi Mataharinya -18 derajat dari cakrawala barat sementara waktu Shubuh -20 derajat dari cakrawala timur.

Pertemuan BHR tahun 2010 menegaskan pilihan ini adalah sementara, selagi rukyat cahaya fajar dan senja, yang secara teknis jauh lebih sulit ketimbang rukyat hilal, di Indonesia masih berlangsung untuk mengetahui sifat-sifatnya lebih lanjut. Sedangkan waktu Imsak dinyatakan sebagai 10 menit sebelum waktu Shubuh dan tak terkait dengan fenomena alamiah apapun, termasuk cahaya zodiak (fajar kadzib).

Tepat

Dengan mengacu opsi tersebut, jadwal imsakiyah disusun dengan perhitungan (hisab) berbasis algoritma posisi Matahari untuk titik acuan (markaz) tertentu yang khas bagi suatu wilayah administratif (kabupaten/kota). Tiap wilayah administratif memiliki titik acuan dengan koordinat dan elevasinya (dari paras air laut rata-rata) sendiri-sendiri. Hasil hisab dioptimalisasi dengan menyertakan faktor toleransi (ihtiyaath) yang memperhitungkan karakteristik geografis wilayah administratif itu, mulai dari lebarnya (dari timur ke barat) hingga selisih elevasinya (antara titik acuan dengan lokasi pemukiman tertinggi).

Dengan demikian, jadwal imsakiyah bisa berlaku bagi segenap titik di wilayah administratif tersebut tanpa terkecuali. Inilah yang membuat jadwal imsakiyah khas bagi wilayah administratifnya. Maka dua kabupaten/kota yang berdampingan tetap memiliki jadwal imsakiyahnya masing-masing seiring perbedaan karakter geografisnya.

Indonesia terdiri dari 497 kabupaten/kota sehingga idealnya juga memiliki 497 jadwal imsakiyah yang berbeda-beda. Di masa kini, menyusun jadwal imsakiyah sebanyak itu sebenarnya tidaklah sulit seiring tersedianya teknologi komputasi yang menghemat waktu dan tenaga, sehingga perhitungan dapat dilakukan secara semi otomatis dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip dasar penyusunan waktu shalat.

Namun, sebagian kita kadang mencoba bertindak praktis dengan sekedar memindahkan jadwal imsakiyah dari titik acuan kota besar tertentu ke suatu daerah dengan hanya menggunakan koreksi waktu. Hal ini sesungguhnya tidak dianjurkan. Memang ada koreksi waktu, yang berdasarkan selisih garis bujur antara dua tempat, sehingga misalnya bagi Serang (Banten) cukup ditambah +2 menit dari Jakarta. Akan tetapi, koreksi waktu ini hanya berlaku untuk awal waktu Dhuhur. Sementara bagi awal waktu shalat lainnya tidaklah demikian karena tak sekedar dipengaruhi oleh kedudukan garis bujurnya namun juga garis lintang.

Beragamnya jadwal imsakiyah yang beredar di publik untuk satu wilayah administratif tertentu terjadi oleh bermacam sebab. Misalnya, akibat koordinat/elevasi titik acuan yang tak sama, pilihan waktu Shubuh dan Isya yang tak sama hingga pilihan faktor toleransi yang tak sama.
Dapat terjadi pula jadwal tersebut sesungguhnya dihitung untuk titik acuan lain namun dipindahkan ke tempat tersebut dengan hanya berdasar koreksi waktu. Keragaman ini tentu membingungkan, terlebih dalam bulan Ramadhan yang mengandung klausul mengakhirkan waktu sahur dan menyegerakan berbuka. Salah pilih jadwal dapat berujung pada batalnya puasa meski tanpa sengaja.

Lantas, mana yang tepat dan bisa digunakan? Rukyat-lah jawabannya, khususnya rukyat posisi Matahari pada momen tertentu seperti awal waktu Shuhur maupun terbit dan terbenamnya Matahari (awal Maghrib). Ini bisa dilakukan dengan mengobservasi Matahari secara langsung lewat teknik rukyat yang aman.

Bisa pula dengan meneranya pada jam Matahari/bencet (sundial), misalnya menggunakan jam Matahari terbesar seperti di Masjid Tegalsari Surakarta (Jawa Tengah). Jadwal imsakiyah yang tepat adalah jadwal yang waktu Dhuhurnya bersesuaian dengan kulminasi atas Matahari sementara waktu Maghribnya tepat bersamaan dengan terbenamnya Matahari.

* Muh Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Nasional
Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Nasional
FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com