KOMPAS.com
- ”Ayah dan teman-temannya yang sabar ya... Mudah-mudahan Pak Presiden dibukakan hatinya oleh Allah. Ayah kapan pulang? Karena aku sama adik kangen sama ayah. Kapan aku bisa kumpul-kumpul lagi seperti dulu?”

Itulah penggalan puisi berjudul ”Surat untuk Ayah” yang dibacakan Farhatus Soleha (7) di atas panggung berukuran 1,5 meter x 1,5 meter. Lewat puisi yang ditulis dengan pena hitam di secarik kertas lusuh, Farha mengungkapkan rindu kepada Bukaman (55), sang ayah, dan kampung halaman di Sampang.

Farha membaca puisi dalam rangka pentas seni anak-anak pengungsi Syiah di Rumah Susun Puspo Agro, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (11/7/2013). Dalam pentas bertema ”Cinta dan Perdamaian” itu, Farha dan anak pengungsi lain mengenakan busana berbahan koran bekas.

Saat ini, Bukaman bersama sembilan pengungsi Syiah lain berada di Jakarta berupaya menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyampaikan aspirasi. Mereka berangkat dari Surabaya ke Jakarta dengan mengayuh sepeda.

Kerusuhan di Sampang meletus pada 26 Agustus 2012. Akibat kejadian itu, warga Syiah di Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran mengungsi ke Gelanggang Olahraga Sampang. Mereka lalu direlokasi paksa dari Sampang ke Rusun Puspo Agro saat terjadi istigasah, 20 Juni 2013.

Sebulan terakhir, Bukaman meninggalkan keluarga di pengungsian tanpa memberi kepastian kapan pulang. ”Kata Ayah, dia akan pulang kalau sudah bertemu Presiden,” ujar Farha dengan tatapan penuh harap.

Setelah berkumpul dengan ayahnya, Farha juga berharap kembali ke kampung halamannya di Desa Karang Gayam, Omben, Sampang. Dia tak betah berada di rusun. ”Di sini bukan rumah saya. Pengin pulang ke kampung saja,” ujar anak keenam dari tujuh bersaudara ini.

Seusai membaca puisi, Farha turun panggung disambut pelukan kakak perempuannya, Halimatus Sadiyah (18), dan dua relawan Yakkum Emergency Unit (YEU). Puisi itu membuat salah satu relawan menangis.

Seperti Farha, anak-anak lain bergantian naik ke panggung membacakan selawat, puisi, surat, dan bernyanyi. Suara mereka seperti asa terpendam.

Puisi lain yang dibacakan Fathurrozi (12) menggema di lorong, ”Oh Presiden, kami harap kamu bisa memulangkan kami. Dan kamu bisa mengamankan desa kami. Kami ingin damai dan tenteram seperti dulu.”

Farha dan Fathurrozi adalah dua dari 111 anak Sampang yang direlokasi ke Rusun Puspo Agro.

Medium kreativitas

Tidak hanya lewat puisi dan nyanyi, kerinduan itu juga tampak pada gambar mereka yang dipajang di lorong rusun. Kebanyakan gambar adalah rumah dikelilingi pohon-pohon rindang sebagai bagian dari kerinduan mereka akan kampung halaman. ”Saya ingin pulang kampung. Sudah kangen sama rumah,” ujar Nurul (11) yang menggambar pohon seperti di desanya.

Dua pekan terakhir, anak pengungsi didampingi relawan YEU dari Yogyakarta. Ranie Ayu Hapsari, psikolog dari YEU, mengakui, anak-anak pengungsi mulai bosan dan kerap bertanya kapan mereka pulang ke rumah.

Puisi, gambar, dan nyanyian merupakan saluran pelampiasan emosi dan curahan hati. Ungkapan hati anak-anak pengungsi juga tak jauh berbeda dengan harapan para orangtua. Sejak direlokasi, kebanyakan dari mereka berharap segera pulang ke kampung halaman karena jenuh dan merasa tertekan.

”Kami menunggu kejelasan berapa lama kami akan tinggal di rumah susun. Berat beban hidup di sini,” ujar Iklil Almilal (41), koordinator pengungsi.

Pengungsi mengaku merasa tertekan karena ketatnya penjagaan. Setiap pengungsi yang hendak keluar atau masuk area rusun ditanyai keperluan dan tujuannya oleh petugas keamanan. Pengungsi yang kebanyakan petani tidak dapat bekerja dan khawatir terhadap kondisi sawah dan ternak yang mereka tinggal di kampung. ”Sawah di kampung tidak ada yang garap. Dari mana bisa dapat uang untuk biaya anak ke pesantren kalau begini,” kata Fusa’i (45).

Dari hasil pendataan petugas, terdapat 235 jiwa atau 69 keluarga yang mengungsi ke Rusun Puspo Agro dan ditempatkan dalam 59 kamar yang masing- masing berukuran 4 meter x 5 meter. Tiga kamar ditempati lebih dari satu keluarga.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, Andy Irfan, mengungkapkan, pengungsi belum dapat mengakses kebutuhan dasar dengan direlokasi ke rusun. Selain penjagaan berlebih yang membuat mereka tertekan, pengungsi tidak mengenyam pendidikan formal di sekolah. ”Mereka itu bukan tahanan,” kata Andy.

Ali Ridho dari Humas Ahlul Bait Indonesia Jatim mempertanyakan komitmen Pemerintah Provinsi Jatim menangani pengungsi. Rekonsiliasi yang tengah diupayakan pemerintah diharapkan membawa titik terang. (HARRY SUSILO)