Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berhentilah Menjadi Bangsa Pemarah!

Kompas.com - 28/06/2013, 09:56 WIB
Subhan SD

Penulis


KOMPAS.com - Walaupun dihujani protes keras, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap menerima penghargaan World Statesman dari The Appeal of Conscience Foundation di New York, Amerika Serikat, 30 Mei lalu. Banyak pihak menyebutkan, Presiden tidak pantas menerima penghargaan itu karena Indonesia masih bermasalah dalam kerukunan beragama.

Namun, Presiden punya jawaban. ”Meskipun masih ada masalah dalam negeri kita, masih ada kejadian yang belum mencerminkan kerukunan hidup antarumat beragama, itu saya akui. Oleh karena itu, mudah-mudahan bagi saya sendiri, bagi bangsa Indonesia, hal baik yang dilihat dunia itu kita terima kalau itu diakui. Justru kita harus berbuat lebih keras, lebih serius, dan efektif lagi untuk perbaiki lagi.”

Pernyataan Presiden itu tentu masuk akal, tetapi pihak-pihak yang berseberangan juga tak kalah rasionalnya. Pada masa transisi politik, konflik sosial begitu gampangnya memicu kekerasan kolektif. Ketika sistem politik otoriter-sentralistik bermetamorfosis ke sistem demokratis-desentralistik, sistem ekonomi kapitalisme pertemanan ke sistem ekonomi pasar, dan sistem sosial yang makin terpolarisasi, letupan konflik menjadi lorong kelam Indonesia.

Di panggung politik, rakyat sangat menentukan, seperti dalam pemilu atau pilkada. Namun, kemajuan penting dalam berdemokrasi itu justru dibebani ekses negatif, yaitu maraknya konflik. Kementerian Dalam Negeri mencatat, kekerasan dalam pilkada sejak 2005 menewaskan sedikitnya 59 orang dan melukai 230 orang. Ada 279 rumah, 30 kantor pemerintah daerah, 11 kantor partai politik, 10 kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan berbagai jenis bangunan lain dirusak atau dibakar massa.

Sampai hari ini konflik di Papua masih mengalami eskalasi yang naik-turun. Namun, konflik sosial yang paling parah adalah konflik yang terjerumus ke dalam konflik berlatar agama atau etnik. Pengalaman paling mengerikan adalah konflik di Poso (Sulawesi Tengah), Ambon (Maluku), dan konflik etnik di sejumlah daerah di Kalimantan. Bahkan, di Poso, hingga kini kekerasan masih menjadi momok yang memicu instabilitas keamanan.

Konflik menjadi ironi dalam masyarakat yang heterogen, baik antaragama seperti dalam kasus jemaat GKI Yasmin di Bogor, maupun intra-agama seperti kasus jemaah Ahmadiyah dan penganut Syiah. Kasus-kasus tersebut belum terselesaikan, bahkan dampaknya bukan saja traumatik secara psikologis, tetapi juga secara sosial mereka terusir dari kampung halaman.

Setahun ini, sebagaimana juga selama 15 tahun pascareformasi, kita menjumpai bangsa ini penuh amarah. Kebencian dan ketidaksukaan terhadap kelompok tertentu, serta reaksi keras terhadap berbagai perbedaan seakan mengalir dalam aliran darah di tubuh kita. Hanya gara-gara persoalan sepele, kemarahan bisa menjadi kekerasan masif yang destruktif. Bahkan, seorang Komaruddin Hidayat—yang juga Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta—pun ragu bahwa kita bangsa penuh sopan-santun.

Kekerasan seolah-olah menjadi saluran tunggal untuk penyelesaian suatu masalah. Dan, sentimen primordial, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), begitu cepatnya tersulut.

Memang, SARA menjadi sumber pemicu konflik yang paling ”anggun”. Penggunaan simbol-simbol agama merupakan konflik yang dampaknya paling rawan, masif, dan destruktif. Sebab, agama memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan pemeluknya, baik secara personal maupun sosial. Tidak mengherankan, dalam konflik agama, para pelakunya merasa faktor penggeraknya adalah tujuan mulia.

Meskipun demikian, konflik berlatar agama sesungguhnya tidak melulu atas dasar agama atau motif sakral, tetapi berkelindan atau justru malah diinisiasi oleh motif-motif sekuler, terutama motif politik atau perebutan kekuasaan (power) ataupun motif ekonomi atau sumber daya alam (resources). Namun, agama sering kali menjadi instrumen pembenaran dalam membingkai konflik. Dalam pandangan Peter L Berger, agama merupakan salah satu alat legitimasi yang paling efektif.

Kaitan agama dan politik, menurut Haryatmoko (2010), menyentuh tiga mekanisme pokok, yaitu fungsi ideologis, faktor identitas, dan legitimasi etis hubungan sosial. Sebagai fungsi ideologis, agama menjadi perekat masyarakat karena memberikan kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sebagai fungsi identitas, agama dapat didefinisikan sebagai kepemilikan kelompok sosial tertentu yang dapat memberikan stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir, dan etos. Sebagai fungsi legitimasi etis hubungan sosial, agama menjadi pendukung suatu tatanan sosial, yang bisa memunculkan fanatisme agama.

Tak mengherankan dalam ruang besar republik ini, kemarahan begitu terlihat jelas. Watak kekerasan menjadi kultur negatif bangsa ini. Intoleransi terlalu sering terdengar di telinga. Kekerasan punya banyak dimensi, antara lain pembuktian jati diri, loyalitas, kebanggaan, ekspresi kelas sosial, dan lain-lain. Ketika kekerasan telah terinstitusionalisasi, kekerasan menjadi bagian dari sistem.

Konflik yang tak teratasi, politik yang selalu gaduh, dan hukum yang tebang pilih, menggambarkan situasi anomi, sebagaimana dilukiskan Emile Durkheim. Situasi tanpa keteraturan, kegamangan, instabilitas itu seolah-olah berbanding terbalik dengan kondisi ”normal” Orde Baru. Tak mengherankan, banyak yang mencibir bahwa lebih enak pada zaman Soeharto, yang dinilai stabil. Namun, sebetulnya bukanlah kerinduan pada cara-cara Soeharto, tetapi lebih karena kita merasa kecewa dan lelah dengan situasi saat ini.

Maka, penghargaan bergengsi yang diterima Presiden SBY itu seharusnya bisa benar-benar dijadikan modal untuk bekerja lebih keras lagi, agar terbangun kembali relasi sosial yang melahirkan harmoni, sekaligus membenamkan amarah bangsa ini. Kita butuh pemimpin di barisan terdepan agar bisa melewati lorong gelap ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Tak Ada Anwar Usman, MK Diyakini Buat Putusan Progresif dalam Sengketa Pilpres

    Tak Ada Anwar Usman, MK Diyakini Buat Putusan Progresif dalam Sengketa Pilpres

    Nasional
    Gibran Dampingi Prabowo ke Bukber Golkar, Absen Saat Acara PAN dan Demokrat

    Gibran Dampingi Prabowo ke Bukber Golkar, Absen Saat Acara PAN dan Demokrat

    Nasional
    Prabowo: Kita Timnya Jokowi, Kita Harus Perangi Korupsi

    Prabowo: Kita Timnya Jokowi, Kita Harus Perangi Korupsi

    Nasional
    Freeport Indonesia Berbagi Bersama 1.000 Anak Yatim dan Dhuafa

    Freeport Indonesia Berbagi Bersama 1.000 Anak Yatim dan Dhuafa

    Nasional
    Komisi V DPR Apresiasi Kesiapan Infrastruktur Jalan Nasional Capai 98 Persen Jelang Arus Mudik-Balik

    Komisi V DPR Apresiasi Kesiapan Infrastruktur Jalan Nasional Capai 98 Persen Jelang Arus Mudik-Balik

    Nasional
    Pakar: Jadi Subyek yang Dituduh, Mestinya Presiden Dihadirkan pada Sidang Sengketa Pilpres

    Pakar: Jadi Subyek yang Dituduh, Mestinya Presiden Dihadirkan pada Sidang Sengketa Pilpres

    Nasional
    Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

    Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

    Nasional
    Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

    Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

    Nasional
    Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

    Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

    Nasional
    Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

    Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

    Nasional
    Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

    Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

    Nasional
    Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

    Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

    Nasional
    Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

    Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

    Nasional
    Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

    Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

    Nasional
    KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

    KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com