6. Muhammadiyah dan NU istimewa
Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi satu-satunya fraksi partai di DPR yang belum sepakat mengesahkan RUU Ormas menjadi produk undang-undang. PAN melihat definisi ormas masih terlalu luas.
Padahal, ada ormas yang seharusnya diberikan definisi khusus karena faktor historis akan peranannya sebelum kemerdekaan RI. PAN menilai, ormas besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama perlu diistimewakan.
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin merupakan salah satu yang lantang menolak RUU Ormas. Menurut dia RUU ini lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.
Din menyatakan, filosofi pembentukan RUU ini sejak awal salah karena lebih banyak mengebiri hak-hak berserikat dan berkumpul daripada berupaya mengatur ormas-ormas yang membandel.
Lagi-lagi Malik menegaskan tidak ada upaya pengebirian hak-hak berserikat. Ia menekankan, misalnya, Pansus RUU Ormas sangat hati-hati dalam pemilihan kata "pembinaan" yang terkesan mengembalikan nuansa era Orde Baru.
Malik juga mengatakan sudah memberikan posisi istimewa kepada Muhammadiyah dan NU serta ormas lain, yang sudah ada sebelum zaman kemerdekaan, untuk tidak lagi mendaftar.
Hal tersebut tercantum dalam Pasal 84 RUU Ormas yang menyatakan bahwa ormas yang telah berbadan hukum berdasarkan staablad 1870 nomor 64 sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia tetap diakui keberadaannya dan tidak perlu melakukan pendaftaran sesuai dengan ketentuan RUU Ormas.
"Jadi seharusnya RUU Ormas ini tidak ada lagi masalah karena semua yang dikritisi masyarakat sudah kami akomodir. Bahkan, pembahasannya harus sampai delapan kali masa sidang. Sesuai mekanisme yang ada, delapan fraksi sudah sepakat RUU ini maju untuk disahkan di paripurna," imbuh Abdul Malik Haramain di Kompleks Parlemen, Senin (24/6/2013).