Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korupsi Mengubah Wajah Partai Politik

Kompas.com - 10/06/2013, 10:37 WIB

Toto Suryaningtyas

Isu keterlibatan sejumlah kader partai politik dalam kasus korupsi telah berdampak lebih jauh. Selain penurunan citra politik parpol, berbagai identitas positif yang dilekatkan publik pada parpol juga turut luntur terpengaruh.

Dugaan tindakan korupsi dalam kasus suap impor daging sapi yang melibatkan sejumlah petinggi Partai Keadilan Sejahtera tampaknya menjadi faktor yang paling memengaruhi pandangan publik terhadap sosok parpol ini. Seiring dengan pemberitaan, asosiasi publik terhadap PKS cenderung berubah dari salah satu partai yang dinilai paling solid dan prospektif menjadi partai yang dinilai paling tidak siap menghadapi Pemilu 2014. Hasil rangkaian jajak pendapat tentang parpol menunjukkan, penilaian publik terhadap PKS berbalik dari parpol yang dinilai bercitra baik (jajak 2003-2010) menjadi bercitra buruk (jajak 2013).

Kondisi serupa terjadi pula pada Partai Demokrat (PD). Dugaan keterlibatan petinggi partai dalam kasus Hambalang ternyata belum pupus dari ingatan publik. Citra parpol ini pun masih dilekatkan publik dengan korupsi. Sedemikian kuat persepsi korupsi yang terlekat di benak publik sehingga separuh lebih bagian responden menuding parpol ini sebagai yang paling korup di antara parpol-parpol saat ini. Proporsi ini nyaris tiga kali lipat proporsi responden yang menuding PKS korup (jajak Juni 2013).

Sulit dimungkiri, terdapat pesan kuat bahwa korupsi merupakan isu paling utama dalam konteks politik saat ini. Kekuatan politik apa pun bakal tergerus dan tumbang jika keterlibatan dengan korupsi semakin jelas terpapar ke publik. Dalam sejumlah jajak pendapat Kompas terbaru terungkap juga perspektif publik yang menilai citra parpol atas dasar keterlibatannya dalam korupsi. Dengan kata lain, korupsi menjadi ”ukuran standar” yang dipadankan pada parpol untuk dipakai sebagai bahan penilaian. Dalam kaitan ini, patut pula dicatat peran KPK yang dinilai publik lebih legitimate dalam mengungkap kasus korupsi kakap.

Dalam perspektif ilmuwan politik Mark E Warren, korupsi sedemikian berbahaya dalam sistem demokrasi karena ”memutus jalinan pembentukan keputusan kolektif”, yaitu karena keputusan politik (di DPR dan pemerintah) tidak lagi terhubung dengan aspirasi publik. Menurut Warren, sulitnya memupus ingatan kolektif atas korupsi disebabkan korupsi berlangsung dalam ranah proses dan melibatkan institusi sehingga bersifat rutin dan dengan demikian ”mengikat” secara mendalam pihak-pihak yang terlibat (”Corrupting Democracy”, American Journal of Political Science, Vol 48, April 2004). Padahal, itulah esensi dasar demokrasi kontemporer sebagai sebuah mekanisme yang menghubungkan tertib hukum negara (legal order) dengan rezim politik yang mewujudkan kepentingan masyarakat (Jane-Erik Lane & Svante Ersson, 2003).

Dalam jajak pendapat ini, persepsi atas korupsi itu bahkan tampaknya telah meluas-melebar, mengubah cukup drastis lanskap penilaian publik atas citra parpol, mekanisme internal parpol, dan bahkan prospek elektabilitas parpol. Penilaian publik atas parpol yang dinilai korup kini berayun dari kutub opini positif ke negatif dan penilaian ”serba minus”. Penilaian meluber ke mana-mana, tak hanya mencakup citra parpol terkait, tetapi juga manajemen internal, kaderisasi, militansi, soliditas, dan tentu saja minat memilih yang kian terpuruk (lihat tabel).

Konsistensi parpol

Di satu sisi, korupsi dianggap paling berperan memerosotkan pamor PD dan PKS serta membuat publik secara gebyah uyah membuat penilaian negatif terhadap berbagai aspek parpol tersebut. Meski demikian, jika dirunut, hasil jajak pendapat terhadap PKS dan PD selama tiga tahun terakhir menunjukkan, sikap responden yang menegasi kedua parpol itu sangat dipengaruhi persepsi inkonsistensi PKS dan PD atas ideologi dan slogan yang disuarakan. Sebagaimana diketahui, jargon PKS adalah bersih dan antikorupsi. Lebih dari itu, PKS menawarkan sosok partai bernapaskan Islam yang sedianya sangat berkomitmen terhadap isu moral dan akhlak (sebagaimana peran PKS dalam pembentukan UU Antipornografi tahun 2008).

Sebagaimana Habermas (1987) katakan, korupsi dalam ranah publik (public sphere), yang diperhitungkan bukan semata substansi soal ”benar-salah”, melainkan lebih pada proses yang deliberatif. Dalam soal ini, di antaranya adalah ”kesepakatan” yang dibangun antara parpol dan publik melalui janji-janji dan slogan parpol.

Dengan basis penilaian itu, publik mengukur keterlibatan kader PD dalam kasus Wisma Atlet dan Hambalang. Demikian juga dalam kasus PKS, publik mengukur slogan ”bersih dan peduli” dengan keterlibatan dalam suap kuota daging sapi impor dan yang mengikutinya. Sebagai gambaran, dalam jajak 12 Juni 2010, citra PKS diapresiasi 80 persen lebih responden sebagai partai ”bersih” (anti-KKN) dan solid. Dalam jajak terbaru, baik PKS maupun PD merupakan dua partai yang sama-sama dinilai paling tidak konsisten dengan ideologinya (dinyatakan sekitar 23 persen responden). Proporsi ini sangat mencolok karena proporsi penilaian terhadap ketidakkonsistenan parpol yang lain (10 parpol termasuk Nasdem, PKPI, dan PBB) rata-rata 2 persen saja.

Menarik melihat kenyataan opini publik yang cenderung menimpakan ”kesalahan kolektif” terhadap kedua parpol ini. Di mata publik, citra parpol secara umum sebetulnya sedang berada di titik terendah (sekitar 82 persen menilai citra parpol buruk saat ini). Mayoritas responden memandang perilaku korupsi terjadi di semua parpol. Untuk menjadi anggota DPR atau DPRD, apalagi kepala daerah, dibutuhkan dana besar. Calon anggota legislatif tingkat pusat butuh Rp 1 miliar-Rp 5 miliar dan tidak sebanding dengan sekitar Rp 2 miliar total penghasilan selama 5 tahun menjabat.

Kekuatan ideologi

Menjelang Pemilu 2014, parpol berlomba memenangi opini publik melalui sosok yang dikesankan aspiratif dan gesit merespons kebutuhan publik. Di antaranya adalah janji-janji politik, yaitu pencanangan program jaminan kesehatan berupa berobat gratis dan biaya pendidikan gratis. Program itu nyaris menjadi ”menu” wajib dalam kampanye calon kepala daerah di sejumlah daerah. Secara faktual, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, merupakan wilayah yang tercatat paling awal melaksanakan program semacam ini (tahun 2003), kemudian makin menggema kuat pasca-Pilkada DKI 2012. Aspek figur Alex Noerdin (saat itu Bupati Musi Banyuasin) dan Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta) yang berada di balik program-program itu menjadi pendorong kuat penerimaan publik atas legitimasi parpol.

Terlepas dari disparitas kemampuan keuangan tiap daerah, daya tahan dan konsistensi ideologi parpol juga dibaca publik, antara lain, lewat kebijakan yang ditelurkan kader yang memimpin daerah. Penjabaran ideologi melalui program yang dijalankan pemimpin daerah dengan sendirinya membentuk persepsi publik mengenai karakter parpol yang mengusungnya.

PDI-P dan Golkar adalah dua partai yang saat ini mendulang keuntungan dari ”konsistensi” menjalankan ideologi, paling tidak di level regulasi, yang kemudian berbuah pada bentuk apresiasi publik. Tak mengherankan, kedua parpol ini diprediksi naik daun menjelang Pemilu 2014. (Litbang Kompas)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Erupsi Gunung Ruang, TNI AL Kerahkan KRI Kakap-811 dan 400 Prajurit untuk Bantuan Kemanusiaan

Erupsi Gunung Ruang, TNI AL Kerahkan KRI Kakap-811 dan 400 Prajurit untuk Bantuan Kemanusiaan

Nasional
Pertemuan Prabowo dan Menlu China Berlangsung Tertutup di Kemenhan

Pertemuan Prabowo dan Menlu China Berlangsung Tertutup di Kemenhan

Nasional
Menlu Retno Telepon Menlu Hongaria Bahas soal Iran-Israel

Menlu Retno Telepon Menlu Hongaria Bahas soal Iran-Israel

Nasional
Bahlil Ungkap UEA Minat Investasi Panel Surya di IKN

Bahlil Ungkap UEA Minat Investasi Panel Surya di IKN

Nasional
Petugas 'Ad Hoc' Pilkada Akan Beda dengan Pilpres, KPU Buka Rekrutmen Lagi

Petugas "Ad Hoc" Pilkada Akan Beda dengan Pilpres, KPU Buka Rekrutmen Lagi

Nasional
Bertemu Hampir 2 Jam, Jokowi dan Tony Blair Bahas Investasi Energi di IKN

Bertemu Hampir 2 Jam, Jokowi dan Tony Blair Bahas Investasi Energi di IKN

Nasional
Firli Disebut Minta Rp 50 Miliar ke SYL, Pengacara: Fitnah!

Firli Disebut Minta Rp 50 Miliar ke SYL, Pengacara: Fitnah!

Nasional
Nasib Putusan Sengketa Pilpres 2024 jika Komposisi Hakim Menolak dan Mengabulkan Imbang

Nasib Putusan Sengketa Pilpres 2024 jika Komposisi Hakim Menolak dan Mengabulkan Imbang

Nasional
KPK Periksa Anggota DPR Ihsan Yunus Jadi Saksi Pengadaan APD Covid-19

KPK Periksa Anggota DPR Ihsan Yunus Jadi Saksi Pengadaan APD Covid-19

Nasional
Jokowi dan Megawati Saling Memunggungi

Jokowi dan Megawati Saling Memunggungi

Nasional
Soal Resolusi Gencatan Senjata di Gaza, Menlu China Sebut AS Pakai Hukum Internasional Sesuai Keinginannya Saja

Soal Resolusi Gencatan Senjata di Gaza, Menlu China Sebut AS Pakai Hukum Internasional Sesuai Keinginannya Saja

Nasional
Indonesia dan China Akan Bahas Kelanjutan Proyek Kereta Cepat, Luhut Kembali Terlibat

Indonesia dan China Akan Bahas Kelanjutan Proyek Kereta Cepat, Luhut Kembali Terlibat

Nasional
KPU Siap Laksanakan Apa Pun Putusan MK soal Sengketa Pilpres 2024

KPU Siap Laksanakan Apa Pun Putusan MK soal Sengketa Pilpres 2024

Nasional
KPU Tegaskan Caleg Terpilih Wajib Mundur jika Maju Pilkada 2024

KPU Tegaskan Caleg Terpilih Wajib Mundur jika Maju Pilkada 2024

Nasional
Megawati Kirim 'Amicus Curiae' ke MK, KPU: Itu Bukan Alat Bukti

Megawati Kirim "Amicus Curiae" ke MK, KPU: Itu Bukan Alat Bukti

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com