Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Malam-malam di Kebagusan

Kompas.com - 10/06/2013, 10:06 WIB
Jodhi Yudono

Penulis

Catatan Kaki Jodhi Yudono

17 tahun yang lalu, demo warga PDI di sekitar Monumen Nasional (Monas) atas penyelenggaraan Kongres PDI versi Soerjadi di Medan pada 20 Juni 1996 akhirnya pecah di halaman Stasiun Gambir. Itulah demonstrasi berskala besar pertama setelah kerusuhan Malari, bangsa ini tiarap di bawah rezim Soeharto yang represif. Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.

"Peristiwa Gambir" saat itu sebetulnya buntut dari situasi di DPR semakin tidak menentu. Perpecahan semakin tidak dapat dihindarkan. Pendukung Megawati, disebut PDI ProMega (PDI ProMega) merencanakan unjuk rasa ke Departemen Dalam Negeri. Unjuk rasa ini dimotori oleh Sophan Sophiaan (alm), SGB Tampubolon (alm), dan Djatikusumo yang diikuti oleh kader yang setia kepada DPP PDI Hasil Munas. Sukmawati Soekarnoputri juga mengikuti long march dari Jalan Diponegoro ke Jalan Merdeka Utara yang juga diikuti oleh ratusan masyarakat yang bersimpati kepada Megawati. Dalam kesempatan ini, Megawati berpesan agar tidak terjadi kerusuhan selama aksi berlangsung.

Saya masih ingat betul, saat Mangara Siahaan, salah seorang kader PDI yang juga aktor film itu, membuka jalan dengan memukul sekuat tenaga tameng polisi yang menghadangnya di depan kantor DPP PDI sebelum mereka menuju Departemen Dalam Negeri. Sempat terjadi chaos, adu jotos dan tendang, namun akhirnya aparat keamanan memberikan jalan bagi anggota dan simpatisan PDI Pro Mega. Rombongan yang berjumlah sekira seribu orang itu terus berjalan sepanjang jalan Diponegoro, Jalan Imam Bonjol, belok kanan menuju Bunderan HI, belok kanan lagi menyusuri Jalan Thamrin, belok kanan menuju Jalan Medan Merdeka Selatan, dan dihentikan di depan Stasiun Gambir oleh aparat. Laju mereka menuju Gedung Departemen Dalam Negeri yang terletak di Jalan Medan Merdeka Utara, dihadang oleh pasukan polisi dan tentara yang siap dengan pentungan dan tameng.

Aksi damai berubah menjadi aksi berdarah. Terjadi pemukulan dan tindak kekerasan lainnya oleh aparat keamanan terhadap peserta aksi. Tank ABRI mondar-mandir berkeliaran, mengejar, dan menakuti orang-orang yang unjuk rasa. Suasana sangat gaduh dan berdarah. Peristiwa Gambir menjadi bagian yang menyatu dari percepatan suhu politik nasional. Warga PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri yang kala itu bagai kerumunan semut merah, buyar dihajar polisi dan tentara yang tidak mengizinkan mereka menyelenggarakan demonstrasi, apalagi di sekitar Monas yang notabene berada di halaman Istana Negara, tempat Presiden Soeharto kala itu 'ngantor'.

Warga PDI kubu Megawati itu pun tunggang-langgang, mereka lari menyusuri Cikini menuju Jalan Diponegoro 59, tempat kantor DPP PDIP berada. Di mulut Jalan Cikini, para wartawan berhenti, ternyata di sana ada Pangdam Jaya saat itu, Mayor Jenderal Sutiyoso yang didampingi Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Wartawan pun segera merubungnya. Setelah Gambir Berdarah, Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso mengeluarkan ancaman tidak akan membiarkan terjadinya aksi massa lagi.

Saya pun terus berjalan kaki menuju Jalan Diponegoro. Pada saat itulah, "Mimbar Demokrasi" dimulai di halaman kantor DPP PDI.

Panggung Diponegoro semakin memperlihatkan eksistensinya. Kader dan simpatisan berbondong-bondong menghadiri Mimbar Demokrasi bagi siapa saja yang hendak berorasi. Aktivis LSM, pemerhati demokrasi, rekan-rekan wartawan, dan kader-kader partai, seperti: Sutardjo Suryoguritno, Sabam Sirait, Sophan Sopiaan, Aberson Sihaloho, Sukowaluyo, SGB Tampubolon, juga fungsionaris partai dari daerah-daerah selalu berkunjung ke Diponegoro untuk melakukan orasi politik dan memberikan dukungan dalam bentuk lain kepada kumpulan massa yang semakin massif. Begitu juga dengan Budiman Sujatmiko sebagai aktivis dan ketua PRD kala itu, Selalu hadir untuk menyemangati dan menggerakkan kekuatan massa. Kantor DPP PDI berubah menjadi lebih hidup, bagai kawah candradimuka yang diharapkan membawa perubahan bagi atmosfir demokrasi.

Sementara, kediaman Megawati di Jalan Kebagusan Dalam IV nomer 45 Jakarta Selatan, semenjak peristiwa Gambir, juga tidak pernah sepi. Orang-orang dari seluruh penjuru Indonesia datang ke rumah ini untuk memberikan dukungan. Beberapa kali saya bertemu dengan utusan mahasiswa dari luar Pulau Jawa serta anggota PDI simpatisan Megawati dari seluruh Indonesia. Yang mengharukan saat itu adalah, para simpatisan itu datang lengkap dengan buah tangan berupa makanan mentah maupun makanan siap santap.

Seingat saya, kala itu Puan Maharani masih jadi mahasiswi di Universitas Indonesia. "Itu puteri saya, baru pulang kuliah," Taufiq Kiemas menunjuk puterinya yang baru turun dari mobil.

Setelah Peristiwa Gambir itulah, saya mulai mengenal Taufiq Kiemas. Pribadinya hangat dan terbuka. Walhasil, kami pun tak canggung untuk bersenda-gurau dengannya. Biasanya Taufiq muncul tengah malam, saat tetamu sudah pulang dan hanya beberapa yang tersisa, di antaranya saya yang kala itu sedang mempersiapkan tulisan panjang mengenai Megawati Soekarnoputri untuk Majalah Jakarta-Jakarta, tempat saya bekerja.

Taufiq kala itu bilang, betapa bangsa Indonesia sedang terbelah. "Bukan saja di kalangan elit politik, tetapi juga di kalangan wartawan. Kalau zaman berubah, kalian nantilah yang akan jadi pemenangnya," kata Taufiq kepada beberapa wartawan yang masih betah begadang bersamanya.

Taufiq Kiemas adalah sumber berita of the record yang luar biasa. Sebagai tokoh politik, sumber Taufiq pasti terpercaya. Itulah sebabnya, dia kerap membeberkan peta kekuatan Soeharto yang makin hari kian surut, terlebih Amerika juga sudah mulai berpaling dari Soeharto. Indikasinya kata Taufiq, adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Tercatat kala itu nilai tukar rupiah tertekan 3,25 persen.

"Siapa yang lapar? Kamu lapar Wil?" tanya Taufiq kepada rekan saya Willy Pramudya yang kini bekerja di Warta Kota. Setelah yang ditanya cuma menjawab dengan senyum, Taufiq pun lantas berinisiatif mengeluarkan sejumlah uang dan menyuruh seorang rekan membeli nasi bungkus untuk semua orang yang masih begadang.

Taufiq rupanya faham betul betapa pentingnya peran wartawan. Itulah sebabnya, dia sedemikian hangat dan sangat antusias saat diwawancara oleh wartawan mana pun. "Pan wartawan corong terdepan untuk perubahan," katanya suatu kali mengenai wartawan.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Freeport Indonesia Berbagi Bersama 1.000 Anak Yatim dan Dhuafa

    Freeport Indonesia Berbagi Bersama 1.000 Anak Yatim dan Dhuafa

    Nasional
    Komisi V DPR Apresiasi Kesiapan Infrastruktur Jalan Nasional Capai 98 Persen Jelas Arus Mudik-Balik

    Komisi V DPR Apresiasi Kesiapan Infrastruktur Jalan Nasional Capai 98 Persen Jelas Arus Mudik-Balik

    Nasional
    Pakar: Jadi Subyek yang Dituduh, Mestinya Presiden Dihadirkan pada Sidang Sengketa Pilpres

    Pakar: Jadi Subyek yang Dituduh, Mestinya Presiden Dihadirkan pada Sidang Sengketa Pilpres

    Nasional
    Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

    Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

    Nasional
    Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

    Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

    Nasional
    Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

    Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

    Nasional
    Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

    Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

    Nasional
    Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

    Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

    Nasional
    Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

    Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

    Nasional
    Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

    Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

    Nasional
    Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

    Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

    Nasional
    KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

    KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

    Nasional
    Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

    Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

    Nasional
    Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

    Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

    Nasional
    Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

    Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com