Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perempuan dan Surga yang Hilang

Kompas.com - 08/06/2013, 02:22 WIB

Oleh Umbu TW Pariangu

Terseretnya beberapa perempuan dalam pusaran kasus suap impor daging sapi yang menimpa Ahmad Fathanah dan beberapa politisi PKS setidaknya menunjukkan citra perjuangan masa depan kaum hawa masih tersandung kerikil.

Sejatinya dalam diri perempuan tersimpan benih keperkasaan, ketangguhan, dan pantang menyerah. Ironisnya, sifat-sifat ”unggul” ini kerap dikapitalisasi untuk menghalalkan tujuan-tujuan yang bersifat melestarikan kuasa patriarkat.

Seiring gelombang feminisme, perempuan memang mulai memiliki kesempatan spiritual lebih baik untuk eksis di tengah dominasi pria. Selain berperan sebagai ibu yang sukses mengasuh anak atau merawat keluarga, juga tangguh sebagai penggiat organisasi, politisi, pekerja lintas profesi, seniman, budayawan, artis, bintang iklan, foto model, jurnalis, presenter, dan profesi terhormat lainnya (Lily Z Munir, 2008).

Namun, jumlah itu tetap masih minim dibandingkan dengan kesempatan yang direguk lawan jenisnya. Dalam derap politik, di telapak kaki perempuan masih belum tersimpan ”surga”.

Pasca-diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No 2/2008 tentang Partai Politik yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam pencalonan politik untuk menduduki kursi parlemen, politik perempuan masih ditimpa kuasa patriarkat yang belum menghargai urgensi perempuan dalam kerja politik inklusif. Kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan dipatuhi seadanya tanpa proses pengaderan yang bermutu.

Padahal, kekerasan domestik, kemiskinan, dan lemahnya akses perempuan terhadap pekerjaan dan pendidikan dapat diperjuangkan oleh kehadiran langsung perempuan di berbagai kamar pengambilan keputusan. Baik di tingkat di partai, legislatif, maupun di birokrasi pemerintahan.

Keberhasilan Puput Tantriana Sari yang memenangi kursi Bupati Probolinggo, Jawa Timur; Atty Suharti yang memenangi kursi Wali Kota Cimahi, Jawa Barat; Sri Surya Widati yang memenangi kursi Bupati Bantul; Anna Sophanah yang sebagai Bupati Indramayu, atau Widya Kandi sebagai Bupati Kendal tentunya adalah prestasi yang tak bisa dinafikan di arena politik.

Hanya saja, semringah kiprah perempuan di ranah politik ini tampaknya masih akan terancam tembok maskulinitas. Politisasi korupsi terhadap perempuan atau munculnya fenomena gratifikasi seks adalah tendensi yang menunjukkan perempuan kerap dijadikan komoditas dalam rezim politik kapitalisme.

Kualitas

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com