Pasal 28 Ayat (1) huruf I UUD 1945 berbunyi, ”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Profesor B Arief Sidharta pun menegaskan, hukuman mati bertentangan dengan titik tolak dan tujuan hukum itu sendiri.
Tahun 2008, Profesor Satjipto Rahardjo (alm) pun menerbitkan buku Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (Genta Publishing, 2008). Menarik sekali. Dia menuliskan, ”Pertanyaannya, bernegara hukum untuk apa? Ya untuk membuat rakyat merasa bahagia hidup dalam negara hukum Indonesia”.
Mengapa hukuman mati masih dijatuhkan? Tentu saja karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih memuat pidana mati. Republik ini mewarisi KUHP tersebut dari pemerintah kolonial Belanda, yang dulu disebut Wetboek van Strafrecht.
Yang menarik, Kerajaan Belanda akhirnya menghapus hukuman mati untuk seluruh kejahatan pada 17 Februari 1983, termasuk penghapusan ancaman hukuman mati dalam hukum pidana militer. Boleh dikata ”pembuat” KUHP telah mencabut hukuman mati!
Upaya hukum untuk menghapus hukuman mati di Indonesia pernah dilakukan melalui uji materi terhadap UU No 22/1997 tentang Narkotika, namun ditolak melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2-3/PUU-V/2007 tertanggal 30 Oktober 2007. MK menyatakan, pembatasan hak hidup berupa hukuman mati adalah sah dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Namun, perjuangan untuk mengeliminasi hukuman mati belum akan berhenti.
Studi Imparsial pun menyimpulkan, sudah seharusnya Indonesia membuang jauh ilusi bahwa hukuman pidana dapat mengurangi kejahatan. Sekalipun hukuman mati dijatuhkan bagi pengedar narkotika, bukankah peredarannya tetap marak? Mungkin saja ada mekanisme preventif yang lebih ampuh.
Jika sebuah hukuman, apalagi hukuman mati, tidak dipastikan efek jeranya, untuk apa tetap dieksekusi? Jika hukuman mati melanggar HAM, untuk apa tetap dipertahankan?(HARYO DAMARDONO)