Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merawat Benih Kebera gaman, Menuai Toleransi

Kompas.com - 03/06/2013, 02:16 WIB

Hidup berdampingan antarumat beragama bukanlah hal yang sulit diwujudkan. Pengalaman publik memperlihatkan, perbedaan agama bukanlah kendala untuk menjalin hubungan sosial yang produktif. Di sisi lain, kebijakan pemerintah dalam beberapa hal dinilai tidak mendorong tumbuhnya kepercayaan sosial di antara kelompok yang berbeda identitas.BI Purwantari

Hubungan antarumat beragama sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya kepercayaan sosial (social trust) yang terbangun di antara individu warga dan antarkelompok di masyarakat. Kepercayaan sosial antarkelompok agama telah tumbuh berkembang di bumi Nusantara sejak berabad-abad lampau. Di Banten, misalnya, masih terdapat warisan toleransi agama yang dibangun pada abad ke-17.

Di Desa Pamarican, Kabupaten Serang, berdiri Wihara Avalokitesvara yang terletak tak jauh dari Masjid Agung Banten. Wihara itu dibangun tahun 1652 oleh Sultan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati untuk menghormati rombongan istrinya, Putri Ong Tin Nio, dari China. Hingga kini pun, meski letaknya berdekatan di wilayah tersebut, tidak pernah terjadi keributan antarumat beragama.

Simbol toleransi tak hanya berupa bangunan fisik. Relasi sosial antarwarga yang berbeda keyakinan pada masa kini pun nyata ada. Pondok Pesantren Walisanga di Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, telah lebih dari satu dasawarsa bekerja sama dengan Seminari Tinggi Santo Paulus, Ledalero.

Bentuk kerja sama terkait dengan pengajaran di Walisanga. Sejumlah frater dari Ledalero mengajar beberapa mata pelajaran dan kegiatan drum band serta teater bagi para santri. Tak hanya itu, tanggung jawab mengawasi keseharian para santri, seperti kedisiplinan shalat, belajar, dan kebersihan pondok pesantren pun ada di tangan frater dari Seminari Ledalero.

Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa multikulturalisme di negeri ini bukanlah isapan jempol belaka. Pengertian multikulturalisme tak sebatas pada mengakui adanya kemajemukan budaya. Lebih dari itu, pengakuan kemajemukan harus diikuti oleh sikap menghormati dan menciptakan kehidupan bersama yang setara. Tanpa penghormatan dan kesetaraan, mustahil kelompok-kelompok yang berbeda akan bisa hidup berdampingan.

Kepercayaan sosial

Kepercayaan sosial terbentuk manakala individu atau kelompok sosial melakukan sesuatu yang baik terhadap orang atau kelompok bukan karena mereka mengenalnya. Perbuatan baik tersebut dilakukan karena mereka tahu aktor atau kelompok lain pun akan melakukan hal yang sama untuk perkembangan hubungan sosial (Martti Siisiainen, ”Two Concepts of Social Capital”, 2000). Artinya, kepercayaan sosial nyata ada ketika sebuah tindakan yang baik dilakukan terhadap orang atau kelompok yang dianggap asing atau berbeda identitas.

Pengertian itu bisa dipakai untuk menerangkan relasi antarumat beragama. Perbedaan agama sering kali menimbulkan prasangka. Namun, kepercayaan sosial mampu mengikis benih prasangka tersebut. Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu memperlihatkan bahwa di masyarakat sendiri telah terbangun suatu kepercayaan sosial antarwarga yang berbeda agama.

Rata-rata lebih dari tiga perempat bagian responden menyatakan kesediaannya untuk menerima bahkan memberikan bantuan kepada warga yang berbeda keyakinan. Penerimaan tersebut tidak terbatas pada kehadiran sosok mereka yang berbeda agama, tetapi lebih dari itu juga terkait dengan penyelenggaraan acara-acara keagamaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com