Hubungan antarumat beragama sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya kepercayaan sosial (social trust
Di Desa Pamarican, Kabupaten Serang, berdiri Wihara Avalokitesvara yang terletak tak jauh dari Masjid Agung Banten. Wihara itu dibangun tahun 1652 oleh Sultan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati untuk menghormati rombongan istrinya, Putri Ong Tin Nio, dari China. Hingga kini pun, meski letaknya berdekatan di wilayah tersebut, tidak pernah terjadi keributan antarumat beragama.
Simbol toleransi tak hanya berupa bangunan fisik. Relasi sosial antarwarga yang berbeda keyakinan pada masa kini pun nyata ada. Pondok Pesantren Walisanga di Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, telah lebih dari satu dasawarsa bekerja sama dengan Seminari Tinggi Santo
Bentuk kerja sama terkait
Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa multikulturalisme di negeri ini bukanlah isapan jempol belaka. Pengertian multikulturalisme tak sebatas pada mengakui adanya kemajemukan budaya. Lebih dari itu, pengakuan kemajemukan harus diikuti oleh sikap menghormati dan menciptakan kehidupan bersama yang setara. Tanpa penghormatan dan kesetaraan, mustahil kelompok-kelompok yang berbeda akan bisa hidup berdampingan.
Kepercayaan sosial terbentuk manakala individu atau kelompok sosial melakukan sesuatu yang baik terhadap orang atau kelompok bukan karena mereka mengenalnya. Perbuatan baik tersebut dilakukan karena mereka tahu aktor atau kelompok lain pun akan melakukan hal yang sama untuk perkembangan hubungan sosial (Martti Siisiainen, ”Two Concepts of Social Capital”, 2000). Artinya, kepercayaan sosial nyata ada ketika sebuah tindakan yang baik dilakukan terhadap orang atau kelompok yang dianggap asing atau berbeda identitas.
Pengertian itu bisa dipakai untuk menerangkan relasi antarumat beragama. Perbedaan agama sering kali menimbulkan prasangka. Namun, kepercayaan sosial mampu mengikis benih prasangka tersebut. Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu memperlihatkan bahwa di masyarakat sendiri telah terbangun suatu kepercayaan sosial antarwarga yang berbeda agama.
Rata-rata lebih dari tiga perempat bagian responden menyatakan kesediaannya untuk menerima bahkan memberikan bantuan kepada warga yang berbeda keyakinan. Penerimaan tersebut tidak terbatas pada kehadiran sosok mereka yang berbeda agama, tetapi lebih dari itu juga terkait dengan penyelenggaraan acara-acara keagamaan.