Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pancasila dan Ide Persatuan

Kompas.com - 01/06/2013, 02:54 WIB

Secara awam telah tersosialisasikan ada empat pilar yang ditegakkan di atas dasar negara, yaitu: (1) Proklamasi Kemerdekaan (sebagai pesan eksistensial tertinggi), (2) UUD 1945, (3) NKRI, dan (4) Bhinneka Tunggal Ika. Tanpa dasar, pilar-pilar akan mengambang.

Persatuan yang utama

Tidak ada kemerdekaan tanpa persatuan. Pada 20 April 1932, Mohammad Hatta menyatakan: ”Dengan persatuan kita maksud persatuan bangsa, satu bangsa yang tidak dapat dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik, tetapi kalau datang marabahaya yang menimpa pergerakan, di sanalah tempat kita menunjukkan persatuan hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun ’persatuan’ dan kita menolak ’persatéan’,” (Daulat Rakyat, 1932).

Yang dimaksud Hatta sebagai ”persatuan” adalah adanya ”persatuan hati” yang membuat kita ”berdiri sebaris”. Lama sesudah itu, dengan senang hati Hatta menyambut lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar ”persatuan hati”, sebagai ”ruh ideologi kebersamaan dan asas kekeluargaan” yang senantiasa ia perjuangkan.

Bahkan, pada saat Bung Hatta berbeda pendapat keras dengan Bung Karno (1960), Bung Hatta tetap memegang teguh Pancasila, yang disebutnya sebagai filsafat negara Indonesia, yang ”dilahirkan oleh Bung Karno”.

Saya kutipkan pandangan Hatta yang mulia, halus pekerti, ideologis, dan religius sebagai berikut: ”Dengan dasar-dasar ini, sebagai pimpinan dan pegangan pemerintah negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia, serta persaudaraan bangsa-bangsa. Dengan bimbingan, dasar-dasar yang tinggi dan murni itu akan dilaksanakan tugas yang tidak dapat dikatakan ringan! Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada terasa senantiasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar. Demikianlah harapan kaum idealis yang merumuskan filsafat negara dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam saat yang bersejarah, yang menentukan nasib bangsa. Satu ciptaan mungkin terlalu tinggi bagi manusia biasa melaksanakannya. Namun, sebagai pegangan untuk menempuh jalan yang baik sangat diperlukan. Dasar-dasar itu menuntut kepada manusia Indonesia, kepada pemimpin-pemimpin politik, dan kepada orang-orang negara untuk melatih diri, supaya sanggup berbuat baik dan jujur, sesuai dengan janji yang dibuat di muka Tuhan.”

Meremehkan Pancasila

Dengan neoliberalisme yang dipelihara oleh pemerintah saat ini, makin berkembang sikap meremehkan Pancasila. Pemerintah, elite kampus, bahkan elite partai di parlemen, ibaratnya tanpa risih mengabaikan Pancasila. Budaya ber- Pancasila dalam penyelenggaraan negara makin tersingkirkan.

Pernyataan-pernyataan korektif keras sering terdengar, antara lain, ”Mengapa kita jadi kebarat-baratan dan kearab- araban? Ini Indonesia yang Pancasila,” (Emha Ainun Nadjib, 2013).

Kita memiliki lebih dari 750 suku bangsa. Suku bangsa-suku bangsa ini sebagai pemangku Nusantara. pada 17 Agustus 1945 kita satukan bersama dalam satu ”persatuan” menjadi Bangsa Indonesia. ”Persatuan” seluruh suku bangsa ini hanya akan menjadi ”persatéan” apabila tidak kita menumbuhkan satu ”ruh” yang sama dalam dimensi Gemeinschaft. Satu ruh kebersamaan itu adalah Pancasila.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com