Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Nyadran, Jalin Kerukunan dengan Sesama

Kompas.com - 22/05/2013, 17:05 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com — Sejak pagi ratusan warga Dusun Sorobayan, Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, berbondong-bondong berkumpul di halaman masjid setempat sambil membawa aneka makanan.

Semua warga, dari anak-anak hingga dewasa juga menggelar tikar dan daun pisang di sepanjang jalan sekitar dusun tersebut. Ya, mereka tengah menggelar tradisi Sadranan atau Nyadran. Sebuah tradisi unik dalam rangka menyambut Ramadan.

Biasanya dilakukan setiap hari ke-10 pada bulan Rajab. Acara diawali dengan doa bersama (tahlil) yang dipimpin sesepuh dusun setempat. Dalam doa itu mereka bersama-sama memanjatkan doa untuk kakek, nenek, bapak, ibu, serta saudara-saudara mereka yang sudah meninggal, khususnya yang dimakamkan di pemakaman Dusun Sorobayan.

"Doa ini kita tujukan kepada para pendahulu kita yang telah membangun dusun kita," ujar Munawiruddin, sesepuh dusun Sorobayan, Rabu (22/5/2013).

Seusai berdoa, semua warga lantas menggelar genduren (kenduri) atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang. Tiap-tiap keluarga membawa makanan sendiri.

Uniknya, makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambar goreng ati, mangut, urap sayuran dengan lauk rempah, perkedel, tempe tahu bacem, dan lain sebagainya.

"Genduren ini bermakna kalau kita masih menjujung tinggi rasa kerukunan antarwarga. Inilah kesempatan kita berkumpul dalam satu waktu dengan seluruh kerabat dan tetangga. Bahkan, sudah menjadi tradisi mudik bagi warga yang merantau ke luar kota," tuturnya.

Suasana kerukunan memang tampak pada kegiatan ini. Mereka saling tukar makanan, berbagi, bercanda, dan melepas rindu dengan kerabat yang pulang dari perantauan. "Selain warga Dusun Sorobayan. Tradisi ini juga diikuti oleh warga sekitar seperti Dusun Tampingan, Ngepos, Banyuurip, hingga Canguk Kota Magelang," ujar Sudiyanto, Kepala Desa Banyuurip.

Sudiyanto menjelaskan, Nyadran atau Sadranan berasal dari kata "Sodrun" yang artinya gila atau tidak waras. Pada masa sebelum datangnya walisongo, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih menyembah pohon, batu, bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras.

Ketika itu mereka menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan membaca mantra-mantra. Kemudian datang para walisongo yang meluruskan bahwa ajaran mereka salah, yang wajib disembah hanya Allah SWT.

Mantra-mantra yang dibaca lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam. "Sedangkan sesaji diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh warga. Inilah salah satu bentuk dakwah walisongo yang masih melestarikan budaya lokal," jelasnya.

Kesempatan itu juga menjadi ajang sosialisasi informasi seperti sosialiasi terkait pajak dan pilkada yang akan digelar pada 26 Mei 2013 mendatang.

Ulfah, salah seorang warga mengaku sengaja pulang dari tanah rantau untuk mengikuti tradisi tersebut. Dia dan keluarganya kecilnya yang tinggal di Sukoharjo, Solo, selalu menyempatkan diri untuk bertemu dengan keluarga asal dalam tradisi Nyadran.

"Ini kesempatan kami untuk bertemu dengan keluarga besar. Selain itu juga kami ingin mengajarkan kepada anak-anak bagaimana hidup rukun dengan sesama," ujar ibu satu orang putri ini. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com