Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

World Statesman Award untuk SBY

Kompas.com - 21/05/2013, 02:29 WIB

Oleh Dino Patti Djalal

Akhir Mei ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono direncanakan menerima penghargaan World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation, suatu yayasan antaragama bergengsi di Amerika Serikat. Ini merupakan kesekian kalinya Presiden SBY menerima penghargaan internasional. Penghargaan sebelumnya dari UNEP, ILO, World Movement for Democracy, US-ASEAN Business Council, dan WWF/WRI/TNC.

Walaupun ini suatu kehormatan, saya tidak melihat penghargaan Appeal of Conscience Foundation (ACF) ini sebagai sesuatu yang terlalu luar biasa atau mengagetkan. Saya juga sependapat dengan Pak Jusuf Kalla yang dengan bijak menyatakan bahwa penghargaan ACF untuk Presiden SBY sebenarnya adalah kredit untuk bangsa Indonesia.

Mengapa? Karena dalam satu dekade terakhir profil Indonesia di dunia internasional sudah jauh berubah. Reputasi Indonesia dulu sebagai negara terpuruk—kata Tom Friedman, messy state—berubah menjadi negara yang disegani: sebagai anggota G-20; major democracy, emerging economy, pivotal state, next Asian giant, environmental power; dan lainnya. Ini adalah fakta dan realitas, bukan opini. Jangan sampai kita seperti bangsa yang bingung: terpuruk marah, sukses kesal.

Musim panas

Ada beberapa faktor yang membuat Indonesia semakin dilirik bangsa-bangsa lain, termasuk Amerika Serikat. Pertama, Indonesia kini mempunyai status yang langka sebagai negara demokrasi yang mapan dan stabil. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, setelah tiga kali pemilu, demokrasi Indonesia dianggap kisah sukses.

Di AS, Indonesia banyak dirujuk oleh pengamat internasional sebagai teladan bagi negara-negara Musim Semi Arab yang kini mengalami transisi. Saya sendiri selalu menyerukan harapan agar Musim Semi Arab dapat menjadi Musim Panas Indonesia.

Sementara itu, upaya Presiden SBY memprakarsai acara tahunan Bali Democracy Forum telah tumbuh pesat dari 32 negara peserta menjadi 80 negara. Sebagai perbandingan, forum Asia Pacific Partnership for Democracy yang dirintis AS pada tahun yang sama ternyata kurang berkembang. Bukankah itu menunjukkan kredibilitas Indonesia yang tinggi dan kepercayaan dunia yang tinggi terhadap kita?

Kedua, Indonesia kini mempunyai rekor hak asasi manusia yang jauh berbeda dari era sebelumnya. Hal ini tidak mengherankan karena kontrol media dan publik yang sangat intens dalam era kebebasan pers.

Dalam era demokrasi kita, tidak ada lagi pelanggaran HAM berat, seperti penembakan massal Santa Cruz tahun 1991 atau di Tanjung Priok tahun 1984. Kasus orang hilang diculik aparat juga hampir tidak terdengar lagi. Pendeknya, pelanggaran HAM yang dulu dilakukan oleh negara kini telah diganti oleh pelanggaran HAM individu yang sifatnya insidentil. Pola ini tampaknya akan terus menghantui kita ke depan. Dan, jangan lupa, di Asia Tenggara, Indonesia adalah negara yang paling aktif mendorong ASEAN menghormati prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com