Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Babak Baru Sengketa Laut China Selatan

Kompas.com - 20/05/2013, 02:43 WIB

Oleh Rene L Pattiradjawane

Insiden penembakan yang menewaskan nelayan Taiwan, Hung Shi-cheng, 9 Mei lalu, membawa babak baru persoalan klaim tumpang tindih di Laut China Selatan. Presiden Taiwan (bernama resmi Republik Cina, untuk membedakan dengan Republik Rakyat China yang beribu kota di Beijing) Ma Ying-jeou berang dan menuntut Filipina meminta maaf. Permintaan maaf akhirnya disampaikan Presiden Filipina Benigno Aquino III, tetapi ditolak karena dianggap tidak tulus.

Sengketa teritorial di Laut China Selatan, ditambah persoalan serupa di Laut China Timur antara Jepang, Taiwan, dan China, serta di Laut Jepang antara Jepang dan Korea Selatan (Korsel), memperkeruh situasi politik dan keamanan di kawasan ini. Posisi Washington serba sulit, Filipina adalah sekutu AS yang terikat dengan pakta pertahanan ”Mutual Defence Treaty” yang sudah berusia enam dekade. Taiwan juga sekutu AS, terikat dalam Taiwan Relation Act 1979.

Drama rumit ini mengisyaratkan nuansa baru perebutan wilayah kedaulatan. Kita melihat posisi yang dimunculkan Taiwan dalam ”politik ikan” ini menjadi ambivalen. Di satu sisi, Taiwan sepakat mengikuti ”teori donat” di Kepulauan Diaoyu (Senkaku) dengan Jepang di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) masing-masing. Namun, di sisi lain, ia bermain api dengan menghadirkan daftar panjang tuntutan ke Filipina.

Peliknya insiden Taiwan-Filipina di wilayah sekitar Selat Bashi (Filipina menyebutnya Selat Balintang) mengisyaratkan perimbangan baru yang membuat kode tata berperilaku (code of conduct/COC) di Laut China Selatan mendesak untuk segera diselesaikan.

Konflik Taiwan-Filipina sendiri tidak mudah karena terbentur sejumlah persoalan diplomasi, hubungan internasional, ataupun ancaman terjegalnya kerja sama ekonomi di tengah kebangkitan nasionalisme masing-masing pihak.

Invalid

Ada beberapa persoalan yang menyelimuti kerumitan insiden ini, khususnya terkait sejumlah tuntutan yang diajukan Presiden Ma Ying-jeou. Salah satu persoalan serius dan menjadi ganjalan adalah prinsip ”Kebijakan Satu China” yang menyebabkan Taiwan tak bisa meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) walaupun selama ini kebijakan Taipei selalu mengikuti prinsip-prinsip hukum itu.

Akibatnya, Presiden Ma tak bisa menggunakan Pasal 73 UNCLOS terkait langkah-langkah pemeriksaan, penangkapan, dan proses yudisial terhadap pelanggar wilayah ZEE-nya. Terbunuhnya nelayan Taiwan dalam insiden ini harus disesalkan dan patut mendapat simpati, tetapi secara teknis, dalam konteks hubungan internasional, Taiwan tak memiliki wilayah ZEE dan tidak bisa melakukan klaim apa pun atas Filipina dan menjadi invalid ab initio (dari awal).

Pilihan bagi Taiwan adalah membuat perjanjian perikanan bilateral seperti yang dilakukan dengan Jepang. Para nelayan Taiwan dikenal sangat agresif dalam melakukan aktivitasnya, termasuk di wilayah Indonesia, bermanuver dengan para penjaga pantai di wilayah perbatasan ZEE.

Kita juga melihat posisi Beijing yang hanya mengkritik keras tetapi seperti tak berdaya membela posisi Taiwan yang diklaim sebagai wilayah kedaulatannya.

Bagi Filipina sendiri, insiden ini mengancam hubungan ekonominya dengan Taiwan, termasuk pengiriman uang sebesar 21 miliar dollar AS tahun lalu dari tenaga kerja mereka di Taiwan.

Perlu didesak penyusunan COC di kawasan ini, yang bisa dimulai melalui sejumlah perjanjian kerja sama bilateral perikanan, seperti Taiwan-Jepang. Sanksi ekonomi ataupun latihan militer oleh Taiwan untuk menggertak Filipina tidak akan menyelesaikan masalah di Laut China Selatan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com