Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Absurd dan Ironisnya Pembolos

Kompas.com - 17/05/2013, 02:53 WIB

Angka kehadiran di atas 60 persen anggota DPR pada masa persidangan 2012, bahkan sejumlah anggotanya di bawah 50 persen, cukup merisaukan. Apalagi data ini tidak merekam yang hadir hanya berdasar tanda tangan absensi, lantas pergi atau titip tanda tangan ke staf anggota DPR.

Tingginya angka pembolos salah satu kriteria mutu individual anggota atau fraksi, lebih jauhnya parpol tempat asal anggota. Kondisi ini pun bisa menjadi ukuran mutu lembaga legislatif. Yang bertanggung jawab tidak hanya institusional Badan Kehormatan DPR, pimpinan DPR, atau pimpinan parpol, tetapi juga individual anggota.

Absurditas dan ironi justru terletak pada pemahaman rancu soal ini, mereka terutama bertanggung jawab kepada partai atau rakyat? Ketika ada pimpinan partai menyatakan, menjelang pencalonan anggota legislatif banyak anggota ”mohon dimaklumi” tidak hadir dalam rapat-rapat DPR karena urusan internal partai, di situlah awal pemahaman keliru tentang wakil rakyat. Seharusnya anggota DPR tidak terlalu disibukkan oleh urusan partai. Seharusnya yang mengurusi partai tidak duduk sebagai wakil rakyat.

Akan tetapi, sudah lama yang ”seharusnya” itu tinggal harapan. Ironis ketika rapat atau rapat paripurna untuk memutuskan perkara penting dibatalkan karena kuorum tidak terpenuhi. Sebaliknya ketika rapat membahas fasilitas anggota berlangsung penuh semangat tinggi. Tidak hanya persyaratan kuorum terpenuhi, tetapi juga gairah bicara mereka menggebu dan jangan harap ada yang ngantuk atau tidur pulas—pemandangan memalukan yang hanya jadi bahan tertawaan. Mereka tampil sebagaimana tugas pokoknya, yakni bicara (parle).

Persentase mayoritas bergelar sarjana, yang periode ini konon tertinggi persentasenya dibandingkan sebelumnya, tidak menjamin peningkatan mutu tanggung jawab legislatif. Mengambil karier dalam bidang politik sebagai pengorbanan untuk rakyat tinggal masa lalu. Aktif di politik tak beda dengan karier sebagai pengusaha, yang ukurannya adalah untung-rugi, do ut des (saya beri supaya engkau beri), sehingga mungkin benar seloroh sinis anggota DPR itu tidak lebih dari buruh politik.

Potret dan kesan umum kinerja DPR di atas tidak mengecualikan sejumlah anggota DPR atau sejumlah aktivis partai yang berada dalam rel jati diri yang seharusnya. Mereka tampil sebagai pejuang hak-hak rakyat, sebagai pejabat publik dalam artian pernyataan dan perilakunya berdimensi umum, karena itu mereka tetap pantas disebut ”Yang Terhormat”—sebutan yang sebenarnya tidak layak dikenakan para pembolos dan pencari kerja di keanggotaan wakil rakyat.

Dengan fasilitas berlebihan, dengan membolos atau tidak memperjuangkan kepentingan umum, secara tidak langsung mereka mengkhianati kepercayaan rakyat. Latar belakang sebagai pengusaha yang kuat di finansial, sebagai artis yang kuat di popularitas, sebagai aktivis partai politik ”sebaiknya” jadi modal-modal kuat untuk memulihkan citra lembaga perwakilan rakyat. Akan tetapi, seperti nasib yang ”seharusnya” tinggal utopia, begitu juga yang ”sebaiknya atau sebenarnya”.

Bisakah kita berharap kepada 6.500 lebih caleg yang diajukan 12 parpol untuk periode 2014- 2019? Harapan senantiasa ada. Namun, melihat mayoritas caleg itu adalah muka-muka lama, yang ada tinggal mengetuk pintu mengingatkan kehadiran mereka sebagai wakil rakyat, bukan wakil partai. (St Sularto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com