Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebocoran Pajak dan Pemiskinan Koruptor

Kompas.com - 08/05/2013, 02:44 WIB

Oleh M Fajar Marta

Beberapa tahun terakhir, publik dicengangkan dengan munculnya koruptor-koruptor muda dengan kekayaan tak masuk akal. Pegawai pajak golongan III/a berusia 31 tahun, Gayus HP Tambunan, diketahui memiliki kekayaan Rp 100 miliar yang disimpan dalam sejumlah rekening bank dan kotak pengaman (safe deposit box).

Pegawai pajak muda lain, Dhana Widyatmika, memiliki kekayaan sekitar Rp 60 miliar yang tersebar dalam rekening bank, surat berharga, logam mulia, dan berbagai bentuk investasi sektor riil, seperti properti dan perusahaan. Senior mereka, Bahasyim Assiffie, juga memiliki kekayaan sekitar Rp 60 miliar yang dikelola oleh manajer investasi. Kekayaan mereka bertiga jauh melampaui pendapatan normal mereka sebagai pegawai negeri.

Di pengadilan, ketiganya terbukti menerima suap dan gratifikasi dari perusahaan yang menjadi wajib pajak. Kompensasi suap tersebut, perusahaan membayar pajak di bawah nilai semestinya sehingga otomatis merugikan keuangan negara. Ini berarti terjadi kebocoran dalam penerimaan pajak akibat kongkalikong aparat pajak dan wajib pajak. Korupsi Gayus, Dhana, dan Bahasyim bisa dikatakan merupakan fenomena gunung es dari praktik korupsi.

Korupsi yang terjadi pada sektor pajak jelas merugikan perekonomian Indonesia. Pasalnya, pajak merupakan sumber utama penerimaan negara dengan porsi rata-rata 80 persen. Pada tahun 2012, misalnya, penerimaan pajak mencapai Rp 1.178,9 triliun atau 78 persen dari total penerimaan negara sebesar Rp 1.507,7 triliun.

Ekonom senior Sustainable Development Indonesia, Dradjad Wibowo, mengungkapkan, kebocoran pajak bisa mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun, yang sebagian besar akibat korupsi. Nilai kebocoran tersebut bisa dihitung dari potensi penerimaan pajak dibandingkan dengan realisasi pajak yang diterima negara setiap tahun.

Menurut Dradjad, jika mengacu pada negara-negara tetangga yang kondisi ekonominya setara dengan Indonesia, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, negeri ini seharusnya bisa mencapai angka tax ratio atau penerimaan pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) sebesar 20 persen. Nyatanya, tax ratio Indonesia hanya sekitar 12 persen dalam dekade terakhir. Artinya, ada potensi penerimaan pajak yang tidak disetorkan kepada negara.

Jika dinominalkan, angkanya cukup fantastis. Pada tahun 2012, misalnya, PDB Indonesia mencapai Rp 9.584,5 triliun. Dengan tax ratio 20 persen, penerimaan pajak negara seharusnya sebesar Rp 1.917 triliun. Namun, kenyataannya, pajak yang diterima negara pada tahun itu hanya Rp 1.178,9 triliun. Ini berarti ada selisih sebesar Rp 738 triliun atau dengan kata lain terjadi kebocoran pajak sebesar 38 persen. Dalam lima tahun terakhir, kebocoran pajak rata-rata mencapai 40 persen.

Akibat penerimaan pajak yang tidak optimal, pemerintah akhirnya tak mampu mengalokasikan dana pembangunan dalam jumlah yang cukup. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi hanya berada di level 6 persen. Padahal, jika infrastruktur seperti jalan, pembangkit listrik, pelabuhan memadai, ekonomi berpotensi tumbuh 8-9 persen. Dengan pertumbuhan sebesar itu, pengangguran dan kemiskinan bisa diturunkan secara drastis.

Miskinkan koruptor

Bagaimana menghentikan korupsi yang menggurita tersebut? Atau kalaupun sudah telanjur dikorupsi, bagaimana uang itu dapat utuh kembali ke negara? Di sinilah peran penegak hukum harus dioptimalkan.

Selama ini, koruptor umumnya hanya dijerat pasal-pasal dalam UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. UU ini sejatinya hanya efektif untuk menghukum badan, tetapi tidak untuk memaksimalkan pengembalian uang negara. Dengan UU ini, jaksa dan hakim paling hanya bisa menyita uang yang benar-benar bisa dibuktikan korupsinya.

Tidak mengherankan, uang yang bisa dikembalikan jauh panggang dari api. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, uang yang masuk ke kas negara dari penanganan kasus korupsi setiap tahun hanya ratusan miliar. Pada tahun 2010, uang yang kembali ke negara hanya Rp 216,67 miliar. Bahkan, pada tahun 2011, jumlahnya menyusut menjadi Rp 99,62 miliar. Jumlah itu jelas amat kecil dibandingkan nilai korupsinya yang mencapai ratusan triliun rupiah.

Karena itulah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji mendesak KPK, kejaksaan, dan polisi tidak segan-segan mengenakan UU No 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap para koruptor. Dengan UU ini, uang yang bisa dirampas tidak hanya yang bisa dibuktikan korupsinya oleh jaksa, tetapi juga seluruh kekayaan koruptor sepanjang ia tidak mampu menjelaskan asal-usul uang itu.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf kecewa dengan minimnya penggunaan pasal pencucian uang dalam kasus korupsi. Padahal, PPATK selalu memasok data transaksi mencurigakan kepada penegak hukum.

Menurut anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, hukuman penjara masih kurang efektif dalam menciptakan efek jera. ”Kenakan pasal pencucian uang terhadap para koruptor,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com