Beberapa tahun terakhir, publik dicengangkan dengan munculnya koruptor-koruptor muda dengan kekayaan tak masuk akal. Pegawai pajak golongan III/a berusia 31 tahun, Gayus HP Tambunan, diketahui memiliki kekayaan Rp 100 miliar yang disimpan dalam sejumlah rekening bank dan kotak pengaman (
Pegawai pajak muda lain, Dhana Widyatmika, memiliki kekayaan sekitar Rp 60 miliar yang tersebar dalam rekening bank, surat berharga, logam mulia, dan berbagai bentuk investasi sektor riil, seperti properti dan perusahaan. Senior mereka, Bahasyim Assiffie, juga memiliki kekayaan sekitar Rp 60 miliar yang dikelola oleh manajer investasi. Kekayaan mereka bertiga jauh melampaui pendapatan normal mereka sebagai pegawai negeri.
Di pengadilan, ketiganya terbukti menerima suap dan gratifikasi dari perusahaan yang menjadi wajib pajak. Kompensasi suap tersebut, perusahaan membayar pajak di bawah nilai semestinya sehingga otomatis merugikan keuangan negara. Ini berarti terjadi kebocoran dalam penerimaan pajak akibat kongkalikong aparat pajak dan wajib pajak. Korupsi Gayus, Dhana, dan Bahasyim bisa dikatakan merupakan fenomena gunung es dari praktik korupsi.
Korupsi yang terjadi pada sektor pajak jelas merugikan perekonomian Indonesia. Pasalnya, pajak merupakan sumber utama penerimaan negara dengan porsi rata-rata 80 persen. Pada tahun 2012, misalnya, penerimaan pajak mencapai Rp 1.178,9 triliun atau 78 persen dari total penerimaan negara sebesar Rp 1.507,7 triliun.
Ekonom senior Sustainable Development Indonesia, Dradjad Wibowo, mengungkapkan, kebocoran pajak bisa mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun, yang sebagian besar akibat korupsi. Nilai kebocoran tersebut bisa dihitung dari potensi penerimaan pajak dibandingkan dengan realisasi pajak yang diterima negara setiap tahun.
Menurut Dradjad, jika mengacu pada negara-negara tetangga yang kondisi ekonominya setara dengan Indonesia, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, negeri ini seharusnya bisa mencapai angka
Jika dinominalkan, angkanya cukup fantastis. Pada tahun 2012, misalnya, PDB Indonesia mencapai Rp 9.584,5 triliun.
Akibat penerimaan pajak yang tidak optimal, pemerintah akhirnya tak mampu mengalokasikan dana pembangunan dalam jumlah yang cukup. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi hanya berada di level 6 persen. Padahal, jika infrastruktur seperti jalan, pembangkit listrik, pelabuhan memadai, ekonomi berpotensi tumbuh 8-9 persen. Dengan pertumbuhan sebesar itu, pengangguran dan kemiskinan bisa diturunkan secara drastis.
Bagaimana menghentikan korupsi yang menggurita tersebut? Atau kalaupun sudah telanjur dikorupsi, bagaimana uang itu dapat utuh kembali ke negara? Di sinilah peran penegak hukum harus dioptimalkan.
Selama ini, koruptor umumnya hanya dijerat pasal-pasal dalam UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. UU ini sejatinya hanya efektif untuk menghukum badan, tetapi tidak untuk memaksimalkan pengembalian uang negara. Dengan
Tidak mengherankan, uang yang bisa dikembalikan jauh panggang dari api. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, uang yang masuk ke kas negara dari penanganan kasus korupsi setiap tahun hanya ratusan miliar. Pada tahun 2010, uang yang kembali ke negara hanya Rp 216,67 miliar. Bahkan, pada tahun 2011, jumlahnya menyusut menjadi Rp 99,62 miliar. Jumlah itu jelas amat kecil dibandingkan nilai korupsinya yang mencapai ratusan triliun rupiah.
Karena itulah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji mendesak KPK, kejaksaan, dan polisi tidak segan-segan mengenakan UU No 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap para koruptor. Dengan UU ini, uang yang bisa dirampas tidak hanya yang bisa dibuktikan korupsinya oleh jaksa, tetapi juga seluruh kekayaan koruptor sepanjang ia tidak mampu menjelaskan asal-usul uang itu.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf
Menurut anggota Badan