Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontraktor Bioremediasi Chevron Divonis 5 Tahun Penjara

Kompas.com - 07/05/2013, 23:31 WIB
Amir Sodikin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com  Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Selasa (7/5/2013) pukul 23.20 WIB akhirnya memvonis terdakwa perkara dugaan korupsi bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia, Ricksy Prematuri, dengan pidana penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta subsider kurungan dua bulan.

Ricksy adalah Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI), yang menjadi pelaksana teknis kegiatan bioremediasi di lahan tercemar minyak PT Chevron. Selain itu, PT GPI sebagai perusahaan juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar 3,089 juta dollar AS. Jika dalam waktu satu bulan setelah keputusan berkekuatan hukum tetap belum dibayar, hartanya akan disita untuk negara.

"Menyatakan terdakwa Ricksy Prematuri terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer," kata Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih. Seusai pembacaan vonis, Sudharmawatiningsih lebih dulu menanyai jaksa baru menanyai terdakwa terkait putusan tersebut.

Jaksa dari Kejaksaan Agung menyatakan akan banding, sementara Ricksy menyatakan masih pikir-pikir dulu.

Majelis hakim berkeyakinan, Ricksy bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana. Kerugian negara dihitung mencapai 3,089 juta dollar AS.

Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa, yaitu pidana penjara 12 tahun, denda Rp 1 miliar subsider kurungan 6 bulan, dan uang pengganti kerugian negara 3,089 juta dollar AS.

Dalam melaksanakan bioremediasi, GPI dianggap tak melakukan uji karakteristik, tak menggunakan mikroorganisme dengan benar karena tak dilakukan uji untuk mengetahui jenis dan jumlah bakterinya. Ricksy menyadari GPI juga tak memiliki kualifikasi sebagai perusahaan pengolah limbah.

Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi.

GPI juga tak memiliki izin pengolahan limbah beracun dari instansi yang bertanggung jawab sehingga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 dan bertentangan pula dengan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup.

Dalam menilai pelanggaran yang dilakukan terhadap Kepmen LH No 128 Tahun 2003, majelis hakim mendasarkan pada keterangan ahli Kejagung, yaitu Edison Effendi. Edison adalah ahli yang sering diprotes kubu Chevron karena memiliki kepentingan dalam kasus ini, mengingat Edison pernah kalah tender di Chevron.

Misalnya, mixing atau pencampuran tidak homogen, penambahan nutrien dianggap tidak pernah dilakukan. Sebagaimana disampaikan Edison, PT GPI dianggap mengabaikan prosedur pelaksanaan bioremediasi sebagaimana tercantum dalam lampiran 2 Kepmen LH No 128 Tahun 2003.

Nota pembelaan atau pleidoi dari Ricksy bahwa PT GPI hanyalah operator atau tukang saja sehingga tak perlu memiliki izin karena izin telah diberikan kepada Chevron tak bisa diterima majelis hakim. Alasannya, jika hanya operator, tak sampai melakukan kegiatan pelatihan kepada orang Chevron. Sudharmawatiningsih mengatakan, dalam amar putusannya, pelaksanaan bioremediasi telah dialihkan dari Chevron ke GPI.

"Dissenting opinion"

Dalam putusan tersebut, tak tercapai kata mufakat dari majelis hakim karena ada dissenting opinion atau beda pendapat yang disampaikan oleh hakim anggota dua, Sofialdi. Sofialdi memaparkan, terdakwa tak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, baik sesuai dakwaan primer maupun dakwaan subsider.

Alasan Sofialdi, pekerjaan bioremediasi telah dilakukan GPI dan telah selesai. GPI juga tak harus mengurus izin sendiri karena menurut peraturan pemerintah, yang harus mengurus izin adalah Chevron sebagai pemilik limbah.

Sofialdi juga mengungkapkan, pengambilan sampel yang dilakukan Edison Effendi dan uji sampel yang hanya dilakukan di laboratorium dadakan di Kejagung tak bisa digunakan sebagai bukti di persidangan. Uji sampel bertentangan dengan peraturan menteri tentang laboratorium lingkungan hidup yang tak bersertifikat.

"Hasilnya menjadi tidak valid dan tidak ilmiah, apalagi digunakan untuk menyatakan kesalahan sebuah perkara," kata Sofialdi. Karena itu, unsur melawan hukum tak terbukti.

Pendapat ahli Edison Effendi menurut Sofialdi bisa dikesampingkan karena ahli dalam melakukan pekerjaannya tidak independen. Karena dakwaan primer dan subsider tak terbukti, menurut Sofialdi, Ricksy harus diputus bebas dari dakwaan primer dan subsider. (Amir Sodikin)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

    Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

    Nasional
    Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

    Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

    Nasional
    Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

    Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

    Nasional
    Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

    Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

    Nasional
    KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

    KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

    Nasional
    Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

    Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

    Nasional
    Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

    Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

    Nasional
    Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

    Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

    Nasional
    PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

    PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

    Nasional
    Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

    Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

    Nasional
    Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

    Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

    Nasional
    Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

    Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

    Nasional
    MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

    MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

    Nasional
    PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

    PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

    Nasional
    Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

    Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com