Bandung, Kompas -
Panglima TNI menyatakan hal itu seusai memimpin serah terima jabatan Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI dari Marsekal Madya TNI Sunaryo kepada Marsekal Muda TNI Ismono Wijayanto di Bandung, Selasa kemarin.
Secara terpisah, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengklarifikasi kasus yang terjadi di Hugo’s Cafe dan LP Cebongan kepada mantan Kapolda DI Yogyakarta Brigjen (Pol) Sabar Raharjo dan Wakil Kepala Polda DIY Komisaris Besar Ahmad Dofiri di Mabes Polri, Jakarta, Selasa. Hasilnya, menurut anggota Kompolnas, Adrianus Meliala, Polda DI Yogyakarta mengambil keputusan sesuai prosedur.
Namun, kata Adrianus, dari klarifikasi itu terdapat kelemahan atau kekurangan dari segi tanggung jawab kepada para keluarga korban LP Cebongan. ”Tanggung jawab kepada para keluarga LP Cebongan tidak cukup hanya sekadar pengiriman jenazah dari Polda DIY ke NTT, penyambutan jenazah di bandara, dan pemakaman jenazah saja. Perlu upaya lain untuk memuaskan para keluarga yang ditinggalkan, seperti pemulihan nama baik para korban,” katanya.
Menurut Adrianus, hasil klarifikasi itu akan disampaikan kepada Kapolri dan Presiden. ”Kami akan membuat surat resmi kepada Presiden dengan tembusan Kapolri,” katanya.
Terkait penyerangan Kantor DPP PDI-P, Panglima TNI menyatakan siap bertemu pengurus PDI-P. Dalam kasus itu telah ditetapkan 10 prajurit TNI AD Batalyon Zeni Konstruksi 13 AD Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, sebagai tersangka. ”Mereka akan ditindak tegas dan sanksi terhadap kesepuluh oknum TNI AD tersebut akan diputuskan di pengadilan militer,” ujarnya.
Namun, Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan, sistem peradilan militer lebih banyak memberikan impunitas dibandingkan menghukum militer pelaku kejahatan. Tidak semua tindak kejahatan anggota militer harus disidang di pengadilan militer. Karena itu, revisi aturan peradilan militer harus segera dilakukan.
”Tentara mencuri peluru dari gudang senjata pantas dibawa ke peradilan militer. Tetapi, apa urusannya jika ada perkara perdata yang melibatkan anggota militer lalu dibawa ke peradilan militer. Anggota militer memukuli orang sipil seharusnya tidak dibawa ke peradilan militer,” ujar Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti.
”Sekarang saat paling tepat merevisi aturan peradilan militer. Hanya Sudan, Kongo, dan Myanmar memakai aturan peradilan militer seperti di Indonesia.
Namun, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, yang lebih penting dari soal perdebatan di peradilan militer atau umum adalah proses hukum harus adil dan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku kekerasan. ”Yang penting keadilannya. Apakah itu di peradilan militer atau sipil. Tak ada jaminan, begitu diproses di peradilan sipil, pasti adil. Di mana pun kasus itu bisa diadili, selama terbuka,” katanya.