Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPU Bisa Buat Aturan untuk Turunkan Biaya Kampanye

Kompas.com - 24/04/2013, 02:17 WIB

Jakarta, Kompas - Pemilihan Umum 2014 cenderung tidak berubah ketimbang pemilu sebelumnya, bahkan akan mengulang pola lama dengan intensitas lebih tinggi, di mana pemenangan pemilu dikendalikan oleh biaya tinggi. Kontestasi dengan sistem proporsional daftar calon terbuka memang berpotensi menjadikan kondisi itu tak terelakkan, plus pola kampanye dan pemenangan yang dilakukan oleh calon anggota lembaga legislatif ataupun partai politik hanya berorientasi pada pemilu.

”Mereka membangun proses dengan cara-cara instan, tidak melakukan kerja-kerja politik investasi yang kontinu,” ujar peneliti senior Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, Selasa (23/4), di Jakarta.

Menurut dia, idealnya, Undang-Undang Pemilihan Umum bisa menjadi instrumen untuk menurunkan biaya berpemilu, misalnya dengan pembatasan belanja kampanye. Namun, regulasi pemilu yang ada sekarang tak mengarah ke sana.

Peluang pengaturan masih ada, yakni dengan regulasi yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan didasari strategi untuk menurunkan biaya kampanye. Misalnya, membatasi durasi kampanye populis lewat iklan di media massa, rapat terbuka yang menyita logistik, atau pemasangan alat peraga kampanye yang berlebihan. ”Implikasinya serius jika kandidat mengeluarkan biaya yang terlalu tinggi untuk pemenangan,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam menilai pengawasan dana kampanye tak akan efektif karena belum tegasnya pengetatan aturan penyerahan atau pelaporan awal dana kampanye oleh KPU kepada parpol saat pendaftaran caleg. Padahal, langkah itu krusial bagi publik sebagai bagian pendidikan pemilih dan mendorong efektivitas pemantauan.

Untuk mengoptimalkan pengawasan dana kampanye, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Komisi Pemberantasan Korupsi mestinya berkontribusi dengan menelusuri rekening dan pengawasan dana-dana ilegal pemilu.

Untuk keperluan tersebut, PPATK meminta Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia mengeluarkan aturan pembatasan transaksi tunai maksimal Rp 100 juta (Kompas, 23/4).

Secara terpisah, Pelaksana Tugas Menteri Keuangan Hatta Rajasa menyatakan, Kementerian Keuangan belum diajak bicara oleh PPATK soal itu.

Caleg PDI-P untuk DPRD Jawa Timur, Didik Prasetiyono, mengatakan, caleg yang tidak memiliki modal sosial cenderung mengeluarkan biaya kampanye lebih besar. Padahal, modal sosial menunjukkan caleg mampu bekerja di masyarakat. ”Saya ikut pemilihan DPD tahun 2009. Dapat 620.000 suara dengan biaya tidak sampai Rp 200 juta,” ujarnya.

Namun, anggota Fraksi PAN DPR, Achmad Rubaie dan Sunartoyo, mengatakan, modal sosial tinggi tetap butuh modal finansial. Pemilu lalu, Sunartoyo menghabiskan Rp 2 miliar, sebagian besar untuk biaya tim sukses. (dik/nwo/las/raz/abk/dmu)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com