Jakarta, Kompas -
Demikian disampaikan Ketua Tim Perumus Rancangan KUHP Andi Hamzah saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (10/4). Dalam rapat untuk mencari masukan terkait draf RUU KUHP dan RUU
Naskah KUHP yang disusun sejak 1982 itu sudah diserahkan ke pemerintah pada 1992. ”Sudah 21 tahun. Tidak pernah sampai ke DPR lantaran pergantian pejabat yang berwenang. Belum dikirim sudah ganti pejabat, diutak-atik lagi,” ujar Andi.
Andi juga mengaku sempat khawatir dengan sejumlah ketentuan di draf RUU KUHP, misalnya tentang kumpul kebo yang sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi. Ketentuan tentang ilmu gaib yang belakangan disebut dengan santet, menurut Andi, juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat.
Ronny Nitibaskara menambahkan, ”Kesimpulan saya, santet dijadikan sarana fitnah dan konflik. Untuk itu tim penyusun Rancangan KUHP memakai delik formil, yaitu ditujukan kepada mereka yang menawarkan ilmu hitam dan bisa menyebabkan celaka orang lain.”
Tentang adanya ketentuan bagi penghina presiden dan wakil presiden dalam draf RUU KUHP, menurut Andi, ketentuan serupa ada di sejumlah negara. Di Jerman, menghina presiden bisa dihukum. Di Jepang, orang dapat dipidana karena menghina kaisar atau kepala negara asing.
Namun, anggota Komisi III DPR, Achmad Dimyati, mengatakan, masalah penghinaan presiden dan wakil presiden sudah diputus Mahkamah Konstitusi dan bersifat final-mengikat. ”Saya ingin mengetahui parameter penghinaan itu. Misalnya mengkritik pemerintah korupsi, apakah itu penghinaan?” ujar Dimyati.
”Delik penghinaan ini pasal karet. Memang orang tidak boleh menghina. Namun, perlu diperjelas,” ucap anggota Komisi III, Ahmad Yani.
”Kami berharap, di tengah tingginya kebutuhan atas jaminan perlindungan saksi dan korban selama ini dapat mendorong sejumlah pihak mendesak pengaturan secara maksimal ketentuan perlindungan saksi dan korban dalam RUU KUHAP,” kata Abdul Haris Semendawai dalam seminar Menyongsong Perspektif Baru Perlindungan Saksi dan Korban dalam Revisi KUHAP, di Jakarta, kemarin.
Keberadaan dan eksistensi LPSK sebagai institusi yang mendapat mandat untuk memberikan perlindungan terhadap saksi, korban, dan pelapor.