Jakarta, Kompas
Hal itu terungkap dalam jumpa pers Koalisi Masyarakat Sipil terkait penanganan kasus Cebongan, Rabu (10/4), di Jakarta. Hadir dalam acara itu Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi, Direktur Program Imparsial Al Araf, sosiolog Tamrin Amal Tomagola, Wakil Direktur Human Rights Working Group Choirul Anam, serta Koordinator Pemantauan Kebijakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar.
”SBY gamang dalam kasus ini. SBY tidak mendorong peradilan yang berkeadilan,” kata Hendardi. Dengan memproses hukum 11 anggota Kopassus saja di peradilan militer, hal itu sama saja dengan mendukung impunitas. ”Dari pengalaman, tidak ada jaminan fair trial di peradilan militer,” katanya.
Menurut Hendardi, banyak kejanggalan dalam penanganan kasus Cebongan tersebut. Ia menilai penanganan kasus cenderung dilokalisasi dan ada upaya untuk mengaburkan atau mereduksi fakta. ”Mengapa tiba-tiba 11 anggota Kopassus diumumkan terlibat,” tuturnya.
Tamrin mengatakan, pengumuman keterlibatan 11 anggota Kopassus itu merupakan upaya TNI AD membendung kasus pada lingkaran tertentu sehingga tidak membahayakan institusi dan kesatuan. ”Itu damage control, yaitu mengontrol jangan sampai berakibat parah terhadap institusi dan kesatuan,” ujarnya.
Menurut Al Araf, jika memiliki perhatian terhadap penegakan hukum yang berkeadilan, Presiden perlu mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sehingga memungkinkan anggota TNI diadili di peradilan umum.
Secara terpisah, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono mengatakan, tim penyidik Pomdam TNI, kemarin, datang ke LP Cebongan untuk meminta keterangan saksi. Agus membantah hukuman di peradilan militer ringan. Dia menambahkan, ringan atau berat hukuman tergantung dari kesalahannya.