JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung dimasukkannya pasal yang mengatur soal santet dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). MUI menilai praktik santet berbahaya.
"Santet itu pembagian dari sihir. Sihir itu ada. Di Al Quran ada, di sabda nabi juga ada. Sihir itu tidak baik, harus dihilangkan. Kami setuju kalau itu dimasukkan dalam pidana," kata Koordinator Ketua MUI Ma'ruf Amin di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (3/4/2013).
Ma'ruf mengatakan, MUI pernah mengeluarkan fatwa haram terkait perdukunan. Hanya saja, untuk dimasukkan ke RUU KUHP, MUI tak mengerti bagaimana teknis pembuktian santet dalam proses hukum nantinya.
"Kami tidak punya info bagaimana itu memidanakannya, bukti pidananya seperti apa. Itu barangkali minta pendapat ke ahli-ahli hukum pidana," ujarnya.
Kejahatan-kejahatan ilmu hitam dibahas dan diatur dalam RUU KUHP, yang tengah digodok Dewan Perwakilan Rakyat. Setiap orang yang berupaya menawarkan kemampuan magisnya bisa terancam pidana lima tahun penjara. Aturan tersebut diatur dalam Bab V tentang Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum yang secara khusus dicantumkan dalam Pasal 293. Berikut ini kutipan pasal yang mengatur tentang santet dan ilmu hitam lainnya itu:
"(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV;
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah dengan sepertiga."
Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa ketentuan itu dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic) yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet).