Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukum Rimba Membahayakan

Kompas.com - 02/04/2013, 07:02 WIB

 JAKARTA, KOMPAS.com - Kekerasan yang marak di sejumlah daerah belakangan ini menunjukkan kepercayaan kepada hukum, kepemimpinan, dan pemerintah semakin hilang. Situasi ini mirip hukum rimba yang dianggap membahayakan. Agar tidak semakin memburuk, kondisi ini harus segera diatasi.

Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Senin (1/4), mengatakan, semua kekerasan itu mencerminkan kepercayaan masyarakat kepada negara kian menipis. Hal itu terjadi akibat lemahnya keteladanan oleh pemimpin nasional. Sebagian elite politik, dari tingkat pusat sampai kepala daerah, justru bermasalah, terlibat kasus kriminal atau tersangkut korupsi.

Aparat penegak hukum juga tidak berwibawa karena justru menciptakan ketidakadilan. Pada saat bersamaan, kesenjangan sosial ekonomi masih tajam. Walaupun pertumbuhan ekonomi disebut mencapai 6 persen, hal itu tanpa pemerataan kepada masyarakat luas.

Akhir-akhir ini, aksi kekerasan atau main hakim sendiri yang menerabas hukum terus bermunculan. Sebut saja penyerbuan dan pembakaran Markas Polres Ogan Komering Ulu oleh sekelompok anggota TNI; sekelompok orang bersenjata menyerbu dan menembak mati empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta; sekelompok warga mengeroyok Kapolsek Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, hingga tewas; perwira polisi dibunuh di Aceh; dan terakhir massa membakar kantor Wali Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Kelompok-kelompok kekerasan dan masyarakat justru melampiaskan dengan caranya sendiri, bukan menghormati hukum.

”Kepercayaan kepada negara ada, tapi semakin menipis. Letupannya di mana-mana. Kalau tak diatasi atau pemerintah tetap begini saja, keadaan bisa semakin memburuk dan demokrasi menjadi kian tidak sehat,” katanya.

Menurut Direktur Reform Institute Yudi Latif, demokrasi semestinya tumbuh bersama nomokrasi atau rule of law (aturan hukum). Ini menghendaki komitmen pada nilai-nilai konsensus bersama. Namun, demokrasi di Indonesia justru kian mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok (partikular).

Hukum yang mestinya menjadi simpul kebajikan dan ketertiban kolektif malah dipolitisasi untuk kepentingan partikular. Penegak hukum yang mestinya berada di garis terdepan dalam memuliakan hukum justru menghinakan hukum dengan menjadikannya sebagai alat pemerasan. Tanpa kepastian hukum, orang kembali mencari sumber perlindungan dari instrumen komunalisme dalam bentuk tribalisme, premanisme, dan fundamentalisme.

”Demokrasi tanpa nomokrasi akan berujung di dua jalan buntu, yaitu merebaknya anarki dan kembalinya tirani. Seluruh leleran keringat perjuangan demokrasi selama ini akan sia-sia. Tanpa wibawa otoritas hukum, warga kembali ke dalam perang semua lawan semua, yang bisa berujung pada the survival of the fittest (hukum rimba),” papar Yudi.

Dalam situasi tersebut, pemimpin nasional semestinya bertindak nyata untuk mengatasi keadaan dengan menegakkan otoritas yang bersumber dari kepastian hukum. Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru dikhawatirkan tidak bisa lagi dalam posisi dapat mengubah keadaan. Ketidaktegasan Presiden justru sering menjadi sumber masalah melemahnya wibawa otoritas.

”Ini memang titik genting dalam demokrasi kita. Kita cuma berharap Pemilu 2014 akan bisa menjadi momen kelahiran kembali demokrasi-nomokratis. Partai-partai dipanggil sejarah untuk menghindari jalan buntu ini. Partai harus menyusun caleg yang bermutu, mengusung calon presiden yang dapat memulihkan semangat republikanisme,” tutur Yudi.

Semuanya korsleting

Menurut sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, kekerasan meledak karena tidak berjalannya instalasi demokrasi yang sebenarnya sudah terpasang. ”Hukumnya ada, peraturannya ada. Aparatnya ada TNI, Polri, hakim, dan jaksa. Pemerintahan dan parlemen pun ada. Namun, semuanya korsleting. Instalasi demokrasi sudah terpasang, tetapi tak berjalan efektif,” ujar Arie.

Menurut dia, salah satu persoalan utama adalah pemimpin yang tidak mengoperasikan instalasi tersebut secara konsisten. Misalnya, ada Undang-undang Antikorupsi, tetapi hingga sekarang mafia anggaran tetap berjalan. Aturan pilkada sudah ada, tetapi konsistensi dan etika untuk menjalankannya secara benar tidak ada.

”Masyarakat akhirnya kebingungan melihat situasi ini. Kalau masyarakat menjadi beringas, itu cuma reaksi saja. Reaksi dari kebingungan itu. Mereka tidak punya otoritas, tidak punya kewenangan. Ketika ada momen, apakah itu konflik pilkada atau sengketa agraria, tiba-tiba meledak,” kata Arie.

Menurut dia, kondisi tersebut bisa menjadi sangat berbahaya. Rasa frustrasi tersebut pada akhirnya akan mengorbankan rakyat juga, dan bukan elite. Ia mencontohkan perusakan fasilitas umum, seperti kantor-kantor pemerintah, akan mengakibatkan tersedotnya anggaran pusat dan daerah untuk keperluan yang semula tidak diperlukan.

Kekerasan bakal menyebar, tidak lagi dimonopoli aparat pemegang senjata. ”Fenomena ini hanyalah puncak gunung es dari relasi kekuasaan dan kekerasan di Indonesia. Bahayanya, jika dibiarkan bisa merembet ke peristiwa politik lain,” papar Arie.

”Kita sebaiknya merefleksikan dan mengevaluasi reformasi hukum selama 15 tahun terakhir. Refleksi ini penting untuk menemukan persoalan mendasar hukum,” kata Wakil Direktur Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan Arsil. Arsil mengatakan, hukum di Indonesia memang sudah hancur lebur. (IAM/ANA/AMR/RYO/FER)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

    TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

    Nasional
    Terseretnya Nama Jokowi di Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

    Terseretnya Nama Jokowi di Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

    Nasional
    Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

    Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

    Nasional
    Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

    Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

    Nasional
    Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

    Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

    Nasional
    Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

    Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

    Nasional
    Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

    Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

    Nasional
    Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

    Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

    Nasional
    Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

    Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

    Nasional
    Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

    Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

    Nasional
    Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

    Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

    Nasional
    Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

    Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

    Nasional
    Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

    Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

    Nasional
    [POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

    [POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

    Nasional
    Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

    Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com