Jakarta, Kompas -
Menurut Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Ronald Rofiandri, DPD harus mendesak DPR dan pemerintah mengganti model daftar inventarisasi masalah (DIM) dan berinovasi menciptakan metode baru. Penggunaan DIM seperti yang selama ini dianut dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) sesungguhnya tidak kondusif bagi DPD untuk mengimplementasikan frase ikut membahas.
Level aktualisasi pemerintah, DPR, dan DPD ada pada tataran isu, bukan teknis seperti yang selama ini dianut melalui penggunaan DIM. Opsi lain, kata Ronald, kalaupun akan tetap dipertahankan, DIM cukup digunakan oleh tim teknis atau para tenaga ahli, bukan anggota DPR atau DPD.
”Metode ini potensial untuk disempurnakan DPD agar peluang ikut membahas semakin lebar karena DPD tidak diposisikan untuk mengambil keputusan atau khawatir terjebak pada situasi bertindak di luar koridor konstitusi,” kata Ronald di Jakarta, Kamis (28/3).
Seperti diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang Rabu lalu memutuskan mengembalikan tiga kewenangan DPD dalam bidang legislasi, yakni mengusulkan RUU, turut membahas RUU, dan menyusun Program Legislasi Nasional. Putusan itu mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan DPD terhadap sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Sementara anggota Badan Legislasi DPR, Nurul Arifin, menyatakan, karena sudah menjadi putusan MK, DPR harus mematuhinya. Penyesuaian atas putusan tersebut akan dimasukkan ke pasal-pasal dalam RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta peraturan tata tertib DPR. Dalam konteks positif, tambahan pihak yang terlibat dapat pembahasan RUU diharapkan menjadikan kerja legislasi yang lebih cepat, efektif, dan optimal.
”Harapan saya, jangan hanya membengkak di jumlah manusia dan anggaran saja, tapi kerjanya juga harus lebih efektif,” ujar politikus Partai Golkar itu.