Raut wajah Abdullah Saleh, anggota Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, berbinar. Setelah hampir empat bulan bergelut dalam pembahasan, Jumat (22/3) malam Rancangan Qanun (Peraturan Daerah) tentang Bendera dan Lambang Aceh disahkan pa-
Tak ada debat dalam sidang paripurna itu. Empat fraksi di DPR Aceh tak ada yang menolak penetapan bendera dan lambang GAM sebagai bendera dan lambang Aceh, termasuk tiga fraksi partai nasional. Gubernur Aceh menetapkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh pada 25 Maret 2013. Qanun itu diundangkan dalam Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Aceh Nomor 49.
”Mulai 25 Maret 2012, masyarakat bebas mengibarkan bendera Aceh ini,” kata Abdullah, yang juga anggota Fraksi Partai Aceh ini.
Sebagai partai yang didirikan oleh mantan anggota GAM, Partai Aceh sangat berkepentingan terhadap disahkannya qanun yang dibahas sejak awal November 2012 itu. Bendera dan lambang Aceh adalah tindak lanjut dari nota kesepahaman damai (MOU) Helsinki tahun 2005 antara Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Komisi A DPR Aceh menargetkan qanun ini tuntas pada 30 November 2012. Namun, reaksi dari sejumlah pihak memaksa membuat target itu terlewati.
Beberapa pihak yang menolak, antara lain, Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda, elemen masyarakat di Gayo, dan beberapa elemen masyarakat sipil lain di Aceh. Salah satu alasan penolakan adalah penggunaan bendera dan lambang GAM bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Pasal 6 Ayat (4) menyebutkan, desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam
Akhir November 2012 terjadi unjuk rasa di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, yang diikuti elemen masyarakat Gayo dan Aceh Leuser Antara, menolak Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh serta Qanun Wali Nanggroe, yang bersamaan dibahas DPR Aceh. Dua qanun itu dinilai rawan membawa Aceh pada konflik.
Pemerintah Aceh sempat me-