Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Para Penjaga Rahasia Kari Aceh

Kompas.com - 28/03/2013, 01:51 WIB

Oleh Budi Suwarna dan Ahmad Arif

Aceh adalah kari. Aroma rempahnya diturunkan dari generasi ke generasi. Tak perlu khawatir kelezatannya akan memudar sebab selalu ada penjaga rasa kari yang lahir di setiap generasi. Lantai 2 Pasar Setui, Banda Aceh, akhir Februari. Keramaian hanya ada di sudut bangunan bagian belakang, tempat Asber Os Meri (48), atau akrab disapa Kak Meri, berjualan bumbu.

”Masak apa hari ini sayang?” Kak Meri, si peracik bumbu terkenal di Banda Aceh itu, menyapa akrab pelanggannya.

”Kari untuk dua ekor ayam, Kak,” jawab Ros (50) sambil menyodorkan selembar uang Rp 5.000. Ros adalah ibu rumah tangga dari Lamlagang, Banda Aceh. Hampir setiap pagi ia membeli racikan bumbu di kios Kak Meri.

”Masakan Aceh itu rumit. Bumbunya banyak sekali,” keluh Ros. ”Kalau meracik sendiri, habis waktu kita. Belum lagi kalau kurang pas takarannya, bisa tidak enak rasanya.”

Ros tidak berlebihan. Untuk memasak kari ayam atau kambing khas Pidie, misalnya, setidaknya dibutuhkan 22 macam bumbu. Bahkan, ada yang memakai 24 bumbu.

Setiap hari Kak Meri melayani 200-an pelanggan seperti Ros. ”Saat hari meugang—dua hari sebelum Ramadhan—ada ribuan orang yang beli bumbu antre dari pagi sampai malam,” ujar Kak Meri yang mewarisi kios dari ibunya tahun 1980-an.

Bagi masyarakat Aceh, makan menjadi momen istimewa, khususnya jika ada kari daging dalam menunya. Sedari dulu mereka adalah penikmat kuliner, seperti disebutkan di banyak catatan lama. Dalam The Voyage of Thomas Best to The East Indies, 1612-1614 disebutkan, Best yang datang ke Aceh sebagai utusan Belanda dijamu Sultan Iskandar Muda dengan 400 macam makanan dari daging.

Kebiasaan makan enak kemudian menurun dari para tetua Aceh ke generasi sekarang. Tengoklah, di piring nasi orang Aceh, kita bisa temukan 3-4 macam lauk. ”Sehari-hari orang Aceh makan seperti itu. Setiap rumah tangga setidaknya menyediakan empat menu dalam sekali makan,” kata Reza Idria, antropolog dari Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh.

Pada masa lalu, gaya hidup ini ditopang ketersediaan tanaman rempah di pekarangan rumah. Sekarang, tanaman bumbu mulai hilang dari pekarangan rumah. Jadi, orang merasa lebih efisien membeli bumbu racikan dari pedagang seperti Kak Meri. Dialah koki keluarga yang sesungguhnya. Katakan saja mau masak apa, Kak Meri akan meracikkan bumbunya dan memastikan kelezatannya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com