JAKARTA, KOMPAS.com - Eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkotika asal Nigeria, Adami Wilson alias Adam alias Abu (42), oleh Kejaksaan Agung dinilai hanya sebagai politik penyeimbang setelah keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi kepada Meirika Franola alias Ola, seorang warga negara Australia. Eksekusi Adami dinilai untuk mengembalikan citra pemerintah setelah dikritik pascapemberian grasi Ola.
"Eksekusi Adami ini dalam rangka memopularitas kembali pemerintahan SBY di tengah mayoritas mendukung hukuman mati," kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar saat jumpa pers di Kantor Kontras di Jakarta, Sabtu (16/3/2013).
Jumpa pers itu diikuti aktivis lain yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Menghapus Hukuman Mati (HATI), yakni aktivis Hak Asasi Manusia Todung Mulya Lubis, Direktur Operasional Imparsial Bhatara Ibnu, dan Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan.
Ola yang mendapat hukuman mati karena kasus penyelundupan 3,5 kg heroin dan 3 kg kokain pada tahun 2000 diberi grasi oleh Presiden berupa pengurangan hukuman mati menjadi seumur hidup. Setelah pemberian grasi itu, Ola terlibat dalam penyelundupan 775 gram sabu-sabu dari India ke Indonesia pada 4 Oktober 2012. Berbagai pihak mengkritik Presiden atas pemberian grasi kepada Ola tersebut.
Haris menilai, ada standar ganda yang dilakukan pemerintah Indonesia terkait hukuman mati. Di satu sisi, pemerintah berupaya meminta agar warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di negara lain supaya dibebaskan dari hukuman mati. Di sisi lain, pemerintah mengeksekusi warga negara asing yang divonis mati.
Haris menyinggung diskusi yang digelar Kementerian Luar Negeri membahas nasib WNI di luar negeri yang divonis mati beberapa waktu lalu. Namun, di hari yang sama, pemerintah malah mengeksekusi mati Adami.
"Masyarakat internasional akan berkata, Anda minta WNI supaya tidak dhukum mati, tapi Anda eskekusi WNA. Ini kelucuan dan ambivalensi wajah Indonesia," kata Haris.
Todung mengatakan, pemerintah memang dihadapkan pada opini publik yang dibangun bahwa mayoritas publik mendukung hukuman mati. Namun, ia menilai jajak pendapat yang dilakukan selama ini tidak tepat karena publik hanya diminta pendapat setuju atau tidak terhadap hukuman mati.
"Kalau pertanyaannya dibuat alternatif, misalnya pilih hukuman mati atau seumur hidup tanpa remisi, survei-survei di negara lain terlihat jumlah yang setuju hukuman mati akan semakin kecil. Kita tidak dihadapkan dengan pilihan seperti itu. Saya sangat yakin rakyat Indonesia pertimbangkan hukuman seberat-beratnya. Hukumlah seumur hidup," kata Todung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.