Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waspadalah, Tren Kekerasan Seksual pada Anak Meningkat

Kompas.com - 15/03/2013, 02:54 WIB

DEPOK, KOMPAS.com — Laporan tentang kekerasan terhadap anak yang diterima Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) terus meningkat dari tahun ke tahun. Celakanya, penyelidikan mendapatkan fakta kasus-kasus itu justru dilakukan oleh orang-orang dekat korban.

"Pada 2011, ada 2.509 laporan kekerasan, 2012 ada 2.637 laporan," ujar Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait. Dari total kasus tersebut, imbuh dia, pada 2011, tercatat 59 persen di antaranya adalah kekerasan seksual dan pada 2012 meningkat menjadi 62 persen.

Menurut Arist, tingginya angka kasus mencerminkan buruknya situasi perlindungan anak di Indonesia. Itu pun, duga dia, angka sesungguhnya di lapangan masih jauh lebih besar. "Puncaknya gunung esnya saja belum tampak karena tingginya kasus kekerasan pada anak sampai sekarang tetap tak terlihat."

Kasus-kasus itu

ZC, bocah berusia sembilan tahun, misalnya, dua pekan lalu melaporkan telah diperkosa ayah tirinya ke Komnas PA. Sementara RR (7 tahun) diduga dicabuli oleh RA (17 tahun) Desember 2012. 

Ada juga PD, gadis berusia 18 tahun yang belum lama ini mendatangi Polres Jakarta Timur untuk melaporkan perbuatan ayahnya, DP (42 tahun). Kepada penyidik, PD mengungkapkan sudah diperkosa oleh ayahnya sendiri sejak dia berusia 13 tahun.

Kasus tragis RI (11 tahun) tentu tak bisa dihapus begitu saja dari catatan kelam. Dia meninggal setelah sepekan kritis di RS Persahabatan. Meski dia meninggal karena radang otak, dokter memastikan ada luka lama di organ kelaminnya yang menyebabkan kerusakan karena infeksi.

"Saya mendengar dari tim dokter bahwa ada luka yang bukan baru di sekitar alat vital korban dan vaginanya rusak diduga infeksi. Mungkin inilah yang membuat korban tidak tertolong lagi," kata Arist. Belakangan diketahui semua kerusakan di alat kelamin RI adalah akibat perbuatan ayahnya sendiri.

Sayangnya, polisi kesulitan menjerat ayah RI. "Ada beberapa kendala yang dihadapi penyidik, di antaranya karena korban sendiri sudah meninggal dunia sebelum dapat mengambil keterangan dari korban," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes (Pol) Rikwanto.

Tahun darurat kekerasan seksual pada anak

Kasus RI, menurut Arist, menandai tahun yang suram dalam upaya perlindungan anak dari kekerasan seksual. Dia  pun menyebut 2013 sebagai tahun darurat seksual terhadap anak. "Masyarakat harus menuntut agar negara meningkatkan hukuman bagi orang dewasa yang melakukan kekerasan seksual (terutama pada anak)," ujarnya.

Sementara itu, menanggapi kasus RI dan maraknya kasus kekerasan seksual pada anak belakangan ini, DPR dan pemerintah berjanji akan segera membahas revisi Undang-Undang KUHP. Anggota Komisi III Bidang Hukum Martin Hutabarat mengatakan, DPR tengah menunggu pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM menyerahkan RUU KUHP untuk dibahas. Menurut dia, pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan pada anak bisa dilakukan melalui revisi UU KUHP ini.

Namun, Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III DPR, memberikan solusi yang lebih cepat agar pelaku kekerasan seksual segera dihukum seberat-beratnya. "Kalau mau dipaksakan saat ini bisa. (Yaitu) Mahkamah Agung membuat fatwa daripada menunggu UU diubah."

Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar mengaku prihatin atas terus meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. "Jumlah kekerasan pada anak mengalami peningkatan pada tahun lalu. Masyarakat dan segenap pihak terkait wajib bekerja sama untuk menangani masalah ini," kata Linda.

Hal yang lebih memprihatinkan, tambah Linda, adalah fakta bahwa pelaku kekerasan pada anak umumnya  kerabat terdekat korban yang seyogianya justru memberi perlindungan kepada mereka. "Jika kekerasan terhadap anak tidak diantisipasi, maka 2013 bisa menjadi tahun darurat bagi keselamatan anak."

Linda pun menyoroti UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dinilainya tidak efektif diterapkan untuk menjerat para pelaku tindak kekerasan pada anak. "Hukuman maksimal pada pelaku jarang diberikan."

Kendala pengungkapan kasus

Sulitnya mengungkap kasus kekerasan seksual pada anak dan membawa pelakunya ke meja hijau diduga karena "otoritas sosial" para pelaku lebih tinggi daripada korban. "Pelaku umumnya memiliki otoritas lebih tinggi ketimbang korban sehingga korban memilih diam. Pelakunya bisa guru, ayah, atau kakak tiri," kata psikolog Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Besar Nur Cahyo.

Komisioner Komnas Perempuan, Herawati, menambahkan, pelaku yang masih punya hubungan sedarah semakin membuat korban kehilangan keberanian menyampaikan apa yang dia alami.

Kesulitan lain membawa kasus-kasus kejahatan seksual pada anak ke meja hijau, ujar Herawati, adalah lemahnya sistem perundangan. "Keterangan korban di bawah umur tidak diakui dalam sistem perundangan kita."

Kekhawatiran bakal tidak dipercaya diduga menjadi kendala pengungkapan kasus kekerasan seksual dengan pelaku sedarah. "Butuh waktu terapi lebih panjang agar korban mau mengungkap apa yang ia alami," kata psikolog klinis Lia Latief Sutisna.

Apalagi kekerasan seksual di lingkungan keluarga atau asrama sekolah cenderung tanpa saksi mata. "Untuk mengungkap, para penyidik biasanya mengandalkan hasil riset laboratorium dan kepiawaian para ilmuwan meyakinkan majelis hakim," ujar Kasat Kejahatan dengan Kekerasan Polda Metro Jaya AKB Helmy Santika

Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh orang terdekat korban, menurut psikolog Universitas Indonesia, Tika Bisono, adalah penyimpangan sosial yang bisa jadi disebabkan oleh depresi yang kemudian menyebabkan rusaknya pola pikir pelaku. "Bisa saja pelaku frustrasi dengan kehidupannya sendiri, kemudian mencari pelampiasan dan anggota keluarga yang jadi target," ujar Tika.

Kasus perceraian, tambah Tika, juga menjadi faktor lain penyebab perkosaan di dalam keluarga. Belum lagi, anak-anak cenderung menelan mentah-mentah "doktrin" untuk patuh kepada orang tua. "Kata-kata 'nurut orang tua' ini jadi soft terror," kata dia.

Sosiolog dari Universitas Sumatera Utara, Badaruddin, menyebutkan, tindakan pelecehan yang dialami anak itu bukannya hanya dilakukan para remaja, orang dewasa, tetapi juga kakek-kakek. "Ini bukan hanya melanggar pidana, tapi (seharusnya) pelanggaran berat HAM. Seorang anak yang masih dalam pembinaan orang tua harusnya dilindungi, bukan dilecehkan," tegas dia. (E.Z002/B/Z. Abdullah/Z. Abdullah)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com