Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Atur Mekanisme Perekrutan Calon

Kompas.com - 07/03/2013, 02:22 WIB

Jakarta, Kompas - Daripada mengatur politik dinasti yang rawan digugat, lebih baik DPR dan pemerintah mengatur mekanisme perekrutan calon kepala daerah sesuai prinsip demokratis dan terbuka. Selama ini, perekrutan diserahkan kepada partai politik yang terdistorsi perilaku elitenya.

Pengajar Universitas Diponegoro, Semarang, Hasyim Asy’ari, menyebutkan, soal politik dinasti berada di ranah fungsi parpol dalam kaderisasi dan perekrutan politik. Karena fungsi itu macet, parpol mengambil jalur cepat. Pemegang jabatan politik yang masih kuat pengaruhnya dimanfaatkan dengan perekrutan ulang lewat pencalonan kerabatnya. ”Intinya bukan soal dinasti atau bukan. Yang perlu diatur lebih jelas adalah mekanisme perekrutan calon oleh parpol sehingga parpol tidak mengatur sendiri sesuai selera parpol,” ujar Hasyim, Rabu (6/3).

Menurut Hasyim, undang-undang luput memperjelas ketentuan bahwa perekrutan calon dilakukan secara demokratis dan terbuka. Selama ini, implementasi klausul itu diserahkan sepenuhnya kepada parpol. Alhasil, ukuran dan mekanisme perekrutan tidak jelas.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng menyebutkan, ketentuan mengenai politik dinasti pasti sarat kepentingan dan tawar-menawar politik. Partai- partai yang berisi ”orang kuat dan berkuasa” tentu akan sekuat tenaga mempertahankan kebebasan pencalonan dan asal-usul kandidat tanpa dibatasi kategori ikatan darah, keturunan, serta hubungan kerabat atau keluarga.

Rawan digugat

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris mengatakan, larangan kerabat petahana maju dalam pemilihan kepala daerah bisa digugat karena melanggar hak asasi. Selain itu, potensi untuk dibatalkan Mahkamah Konstitusi juga tinggi. ”Hal terpenting, menjamin pilkada berlangsung dengan bebas, tanpa intimidasi. Jika demikian, tidak akan ada masalah dengan politik dinasti,” ungkapnya.

Namun, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, keberadaan petahana akan memengaruhi keterpilihan kerabatnya yang mencalonkan diri. Kementerian Dalam Negeri mencatat, sudah ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti.

”Justru adanya kerabat petahana membuat akses warga lain yang memiliki kapasitas sebagai calon kepala daerah menjadi tertutup. Hak politik warga lain tersingkir,” tutur Djohermansyah.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan pembatasan kerabat petahana dalam pencalonan sebagai kepala daerah selama satu periode. Pembenahan partai politik juga diusulkan untuk memperbaiki kualitas calon kepala daerah yang diusung.

Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow menilai, terkait maraknya dinasti politik, larangan kekerabatan dalam pencalonan kepala daerah mendesak diterapkan. Ketegasan semacam ini diperlukan karena standar moral para politisi ternyata rendah.

”Kita tidak memiliki pilihan lain. Kita perlu tegas, dicantumkan dalam undang-undang, karena tidak cukup hanya mengandalkan standar moral politisi,” ujar Jeirry. (DIK/INA/ATO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com