JAKARTA, KOMPAS.com — Pengacara tersangka Inspektur Jenderal Djoko Susilo, Hotma Sitompul, mengatakan, seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menyita harta milik kliennya yang sudah dimiliki sebelum 2011. Tindak pidana korupsi proyek simulator yang diduga dilakukan Djoko terjadi sesudah 2011.
"Yang di luar itu tidak boleh dibilang money laundering," kata Hotma seusai mengadu ke Komisi III DPR di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (5/3/2013). Dia mengungkapkan persoalan Djoko seusai mengadukan kasus kliennya yang lain, Raffi Ahmad.
Anggota Komisi III DPR Dari Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, adalah yang mulai menyinggung kasus Djoko di sela pengaduan terkait kasus Raffi. Ruhut menyarankan tim pengacara Raffi untuk mengikuti proses hukum yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Menurut Ruhut, pihak luar tidak mengetahui apa saja barang bukti maupun saksi yang dimiliki BNN. Menurut dia, bisa saja nantinya perkara Raffi berkembang seperti kasus Djoko. "Kasus Djoko kan makin dalam. Akhirnya kena money laundering, rumahnya banyak yang disita," kata Ruhut.
Menjawab pernyataan Ruhut, Hotma balik meminta semua orang yang ada di ruang Komisi III DPR untuk melakukan pembuktian terbalik atas harta yang dimiliki masing-masing. "Suruh periksa harta dari 2003, termasuk Ruhut," ucapnya.
Namun, Hotma mengatakan, saat ini Djoko dan tim kuasa hukumnya belum siap membuktikan keabsahan harta yang sudah disita KPK. "Kami tidak siap juga untuk membuktikan. (Tapi) dia (KPK) tidak boleh mengusut di luar 2011 (dan) 2012 ," ujar Hotma.
Seperti diberitakan, hingga pekan lalu, KPK sudah menyita 11 rumah milik Djoko yang tersebar di sejumlah wilayah. Rinciannya, tiga rumah di kawasan Jakarta Selatan; satu rumah di Perumahan Pesona Khayangan, Depok; dua rumah di Solo; tiga rumah di Yogyakarta; satu rumah di Bogor; dan satu rumah di Semarang.
Menurut KPK, penyitaan dilakukan agar tidak ada perpindahan aset selama proses hukum di KPK masih berjalan. Meski demikian, rumah-rumah yang disita itu tetap boleh ditempati penghuninya.
KPK menetapkan Djoko sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek simulator SIM. Mantan Kepala Korlantas Polri itu diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain yang merugikan keuangan negara.
Dalam pengembangan penyidikan, KPK menjerat Djoko dengan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Modus pencucian uang Djoko diduga dilakukan melalui pembelian aset berupa properti, baik tanah maupun lahan, dan diatasnamakan kerabat serta orang dekat Djoko.
Berdasarkan informasi dari KPK, nilai aset yang diperoleh sejak 2012 mencapai Rp 15 miliar. Sementara nilai aset yang diduga diperoleh sejak Djoko menjabat Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya sebesar Rp 30 miliar. Nilai aset ini belum termasuk sejumlah lahan di Leuwinanggung, Bogor, dan Cijambe, Subang.
Berita terkait dapat dibaca dalam topik: Dugaan Korupsi Korlantas Polri
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.