Pendapat itu disampaikan peneliti senior Lembaga Ilmu
”Politik dinasti ini merusak demokrasi, mencederai demokrasi,” katanya menanggapi maraknya politik kekerabatan dalam pemilihan kepala daerah.
Demokrasi, menurut Siti, menuntut kesetaraan serta kesempatan yang sama dalam mengakses berbagai hal, termasuk kekuasaan. Demokrasi juga menuntut kesempatan yang sama bagi warga negara untuk menjalankan hak politik, baik hak pilih maupun hak dipilih.
Politik dinasti telah menutup kesempatan atau akses warga negara di luar garis keturunan dinasti (kepala daerah) untuk mendapatkan hak dipilih. ”Mereka yang mendapatkan hak dipilih hanya berasal dari keluarga itu-itu saja sehingga otomatis yang berkuasa juga dari keluarga itu-itu saja,” ujarnya.
Karena itu, kata Siti, politik dinasti harus dicegah. Salah satunya dengan mengatur larangan bagi kerabat kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah seperti yang diusulkan pemerintah.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto menambahkan, hak warga untuk memperoleh kebebasan tidaklah mutlak. Jika melihat Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945, kebebasan warga negara perlu dibatasi agar tidak mengganggu kebebasan warga negara lain.
Usulan pemerintah dalam Pasal 12 Huruf p RUU Pilkada tidak melarang sama sekali kerabat gubernur mengikuti pilkada. ”Ada jeda waktu lima tahun. Tidak melarang sama sekali sampai selamanya,” tuturnya.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan sebelumnya juga mengatakan, pelarangan kerabat kepala daerah mencalonkan diri itu diusulkan dengan pertimbangan Pasal 28J UUD 1945.