Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Legalisasi Pencurian di Laut

Kompas.com - 20/02/2013, 02:24 WIB

Oleh Mida saragih

Pembiaran terhadap pencurian ikan oleh nelayan-nelayan Thailand kembali terjadi di perairan barat dan selatan Aceh. Kasus ini memperpanjang daftar pencurian ikan yang tidak diurus secara memuaskan oleh pemerintah.

Tak hanya itu, ke depan, pencurian ikan berpotensi dilegalkan sejak Menteri Kelautan dan Perikanan Cicip Sutardjo membolehkan alih muatan ikan ke kapal-kapal asing melalui Permen KP No 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memang tidak pernah tegas menindak para pencuri ikan yang kebanyakan nelayan-nelayan asal Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja, Taiwan, dan juga China. Sepanjang 2007-2012, kapal pengawas KKP telah menangkap 1.029 kapal pencuri ikan. Dari jumlah itu, 37 persen pelaku domestik, sedangkan 63 persen lainnya nelayan asing. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), pada 2008 lalu pencurian ikan telah merugikan Indonesia Rp 30 triliun per tahun.

Para pencuri ini jarang diganjar hukuman yang pantas. Biasanya aparat penegak hukum hanya menjerat nakhoda dan anak buah kapal, bukan si empunya kapal. Anehnya lagi, kapal-kapal tersebut justru bebas berkeliaran hanya dengan membayar denda yang tak seberapa.

Di tengah maraknya serbuan pencurian ikan, KKP justru mengurangi waktu operasional pengawasan laut dari 180 hari (2012) menjadi 115 hari (2013) selama setahun. Penyusutan hari pengawasan ini memberi ruang pelaku kejahatan perikanan dalam dan luar negeri menjarah ikan kita lebih banyak lagi.

Lebih celaka lagi, awal tahun ini Cicip Sutardjo justru memberi celah praktik pencurian ikan dengan memberlakukan Permen KP No 30 Tahun 2012. Peraturan ini bagaikan petugas ronda yang sengaja mempersilakan sang pencuri masuk dan menjarah kampungnya.

Ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, dengan alasan mempercepat industrialisasi, KKP membolehkan kapal penangkap ikan berukuran di atas 100 GT, serta kapal pengangkut ikan di atas 500 GT dan 1.000 GT asal luar negeri untuk ikut mengeksploitasi wilayah perikanan Indonesia.

Kedua, lewat Pasal 69 Ayat 3 aturan yang sama, kapal-kapal penangkap ikan berukuran di atas 1.000 GT yang menggunakan alat tangkap pukat cicin (purse seine) tak diwajibkan mendaratkan ikan di pelabuhan domestik. Hal itu berarti pemerintah sengaja membiarkan kapal-kapal besar itu langsung melenggang ke luar negeri dengan semua hasil tangkapan ikan pada saat industri pengolahan ikan nasional krisis bahan baku. Di mana sebenarnya keberpihakan pemerintah?

Cabut Kepmen No 30 Tahun 2012

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com