Banda Aceh, Kompas -
Demikian temuan Tim Kajian Tata Ruang Aceh (TKTRA) yang disampaikan dalam diskusi tentang tata ruang Aceh, di Kantor Transparency International Indonesia Aceh, Kamis (14/2), di Banda Aceh.
Peneliti TKTRA, Yona, menuturkan, 242.660 hektar hutan yang berpotensi terdegradasi itu berasal dari analisis terhadap 341.022 hektar hutan yang diusulkan akan dialihfungsikan oleh Pemerintah Aceh dalam RTRW yang saat ini sedang diajukan kepada pemerintah pusat.
Perubahan fungsi hutan dalam RTRW Aceh yang baru itu bermacam-macam, misalnya hutan lindung dan hutan produksi terbatas menjadi areal penggunaan lain, hutan lindung menjadi hutan produksi, dan hutan lindung menjadi konservasi.
”Dari 26 usul perubahan, ada 14 yang menjadi kajian kami. Dari 14 usulan itu, perubahannya justru menurunkan status fungsi hutan,” ujar Yona.
Hutan lindung yang dialihfungsikan menjadi areal penggunaan lain seluas 68.594 hektar, hutan produksi menjadi areal pemakaian lain (44.195 hektar), hutan lindung menjadi hutan produksi (40.913 hektar), hutan produksi menjadi hutan produksi konservasi (34.607 hektar), dan hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas seluas 18.547 hektar. Menurut Yona, perubahan fungsi hutan itu akan memiliki dampak ekosistem yang serius.
Dari hasil kajian TKTRA, ada 52 usul perubahan fungsi hutan yang memotong koridor satwa dengan luas 37.465 hektar, 32 perubahan fungsi hutan memotong habitat gajah seluas 61.140 hektar, 89 usulan perubahan fungsi hutan yang masih terdapat hutan primer, dan 19 usulan perubahan masih terdapat hutan sekunder.
Menurut aktivis lingkungan Aceh, Irsandi Aristora, perubahan fungsi hutan dalam RTRW Aceh patut dipertanyakan. Kawasan hutan yang berubah itu berada di dekat pertambangan dan perkebunan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Abubakar Karim mengakui, dalam RTRW Aceh yang baru memang ada perubahan luasan hutan. Namun, perubahan itu hanya sekitar 29.000 hektar.
Di Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya akan memperketat izin alih fungsi lahan sawah dan melakukan penambahan lahan sawah pada 2013. Itu dilakukan untuk menjaga ketahanan pangan di Tasikmalaya.
”Aturannya sedang kami bahas. Sawah produktif direkomendasikan untuk tidak dialihfungsikan,” ujar Sekretaris Daerah Kabupaten Tasikmalaya Abdul Kodir pada pertemuan advokasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Jabar dan Tasikmalaya, Kamis, di Tasikmalaya.