Jakarta, Kompas -
Permintaan itu disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai di Jakarta, Kamis (14/2). Ansyaad dimintai tanggapan terkait keputusan DPR menyetujui pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme menjadi UU, Selasa lalu.
Lewat peraturan itu, tiap orang yang sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana untuk aksi terorisme dipidana maksimal 15 tahun penjara dan dikenai denda Rp 1 miliar. Aparat penegak hukum juga dapat memblokir dana yang diduga digunakan untuk aksi terorisme.
Menurut Ansyaad, pencegahan dan penindakan terorisme lebih penting. Langkah-langkah awal yang mengarah pada aksi terorisme seharusnya dikategorikan sebagai kejahatan dalam revisi UU No 15/2003 nanti. Ansyaad menyebut contoh, menyebarkan kebencian dan permusuhan kepada pihak lain kerap jadi awal aksi terorisme. Kegiatan-kegiatan seperti latihan kelompok bersenjata juga perlu ditegaskan sebagai kejahatan.
Ia menambahkan, RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme bukan inisiatif BNPT. Ia mengakui, penyusunan RUU tersebut dilatarbelakangi dorongan atau tekanan lembaga internasional, seperti Financial Action Task Force (FATF).
FATF merupakan lembaga internasional yang dibentuk untuk membuat standar dan mempromosikan ketentuan peraturan atau hukum untuk memerangi kejahatan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan ancaman lain yang dapat mengancam integritas sistem keuangan internasional.
Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, belum mengetahui apakah pemerintah sudah mengajukan draf revisi UU No 15/2003 kepada DPR. ”Perlu dicek apakah ampres (amanat presiden) sudah ada atau belum,” katanya.
Bambang menambahkan, ketentuan-ketentuan terkait revisi UU No 15/2003 kemungkinan juga dimasukkan ke dalam RUU Keamanan Nasional.