JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan untuk banding atas vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menjatuhkan pidana dua tahun delapan bulan penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Hartati Murdaya Poo. Selaku Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantation dan PT Cipta Cakra Murdaya, Hartati dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan dengan memberikan uang Rp 3 miliar kepada Bupati Buol Amran Batalipu terkait kepengurusan izin perkebunan.
"Terhadap putusan hakim Tipikor tingkat pertama yang menjatuhkan vonis hukuman dua tahun delapan bulan penjara, KPK berencana untuk banding," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Selasa (5/2/2013).
Menurut Johan, KPK mengajukan banding karena putusan hakim tidak sesuai dengan tuntutan jaksa. Dalam tuntutannya, jaksa KPK meminta majelis hakim menjatuhkan vonis lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan. "Karena tuntutan kita yang lima tahun ya, divonisnya dua tahu delapan bulan, kita akan banding untuk mempertahankan yang lima tahun itu," ujar Johan.
Dalam pemberitaan Kompas, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah kehilangan sensitivitas dalam menangani kasus korupsi. Vonis Hartati menambah panjang deretan kasus korupsi yang divonis rendah atau jauh dari tuntutan jaksa, yang kini telah menjadi tren, bahkan di Pengadilan Tipikor.
Hartati didakwa secara alternatif, tetapi hakim menyatakan dakwaan pertama yang terbukti. Hartati dianggap terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto UU No 20/2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
Hal yang meringankan Hartati, menurut majelis hakim, pengusaha yang juga mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat ini, berjasa membangun perekonomian Buol. Hartati dengan PT Hardaya Inti Plantations (HIP) adalah investor pertama yang mau bekerja di Buol. Hartati juga sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum.
Hal yang memberatkan adalah perbuatan Hartati mencederai tatanan birokrasi pemerintahan yang bersih. Perbuatan Hartati juga kontraproduktif sebagai pengusaha.
Menurut majelis hakim, Hartati terbukti memberikan uang senilai total Rp 3 miliar kepada Amran Batalipu selaku Bupati Buol. Pemberian uang senilai total Rp 3 miliar tersebut merupakan "barter" karena Amran telah mendantangani surat-surat terkait perizinan lahan seperti yang diminta Hartati.
Pemberian uang direalisasikan dalam dua tahap, yakni pada 18 Juni 2012 senilai Rp 1 miliar melalui anak buah Hartati, Arim dan Yani Anshori, serta pada 26 Juni sebesar Rp 2 miliar melalui Gond Sudjono dan Yani. Adapun Yani dan Gondo sudah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu.
Pleidoi (nota pembelaan) Hartati pun ditolak seluruhnya oleh majelis hakim. Hakim menilai, nota pembelaan tanpa didukung bukti yang cukup. Sebelumnya, Hartati berdalih uang Rp 3 miliar yang diberikan ke Amran tersebut bukanlah suap, melainkan bantuan dana kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pemilkada) Buol 2012. Saat itu, Amran tengah maju sebagai calon petahana.
Hartati berkilah, pemberian uang itu tidak berkaitan dengan kepengurusan hak guna usaha (HGU) perkebunan karena menurutnya PT HIP sebenarnya tidak membutuhkan izin yang ditandatangani Amran seusai pemberian uang tersebut. Atas putusan ini, Hartati akan pikir-pikir dulu apakah mengajukan banding atau tidak.
Berita terkait dapat diikuti dalam topik:
Vonis Hartati Murdaya