Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hartati Murdaya Divonis 2 Tahun 8 Bulan Penjara

Kompas.com - 04/02/2013, 12:13 WIB
Dian Maharani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider kurungan 3 bulan penjara kepada pengusaha Siti Hartati Murdaya. Selaku direktur utama PT Hardaya Inti Plantation dan PT PT Cipta Cakra Murdaya (CCM), Hartati terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan dengan memberikan uang senilai total Rp 3 miliar kepada Bupati Buol Amran Batalipu terkait kepengurusan izin usaha perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah. Putusan ini dibacakan majelis hakim Tipikor yang terdiri dari Gus Rizal (ketua), Tati Hardiyanti, Made Hendra, Slamet Subagyo, dan Joko Subagyo secara bergantian dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (4/2//2013).

"Menyatakan terdakwa Siti Hartati terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi sebagai perbuataan berlanjut. Sebagaimana, dalam dakwaan pertama, melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor jo Pasal 64 ayat 1 Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana," ujar Ketua Majelis Hakim Gus Rizal.

Putusan ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yakni hukuman lima tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta dan subsider empat bulan kurungan.

Majelis hakim menyatakan, Hartati terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat 1 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP sesuai dengan dakwaan pertama. Pemberian uang senilai total Rp 3 miliar tersebut merupakan "barter" karena Amran telah mendantangani surat-surat terkait perizinan lahan seperti yang diminta Hartati.

Pemberian uang direalisasikan dalam dua tahap, yakni pada 18 Juni 2012 senilai Rp 1 miliar melalui anak buah Hartati, Arim dan Yani Anshori serta pada 26 Juni sebesar Rp 2 miliar melalui Gond Sudjono dan Yani. Adapun, Yani dan Gondo sudah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu. Majelis Hakim menyatakan hal itu terbukti ketika Hartati bertemu Amran Batalipu di lobby Hotel Grand Hyatt pada 11 Juni 2012. Saat itu, Hartati meminta bantuan dua karyawan dan meminta diberi rekomendasi untuk Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha (HGU).

Setelah pertemuan tersebut, tanggal 12 Juni 2012, pegawai HIP Arim membuat surat rekomendasi atas perintah Hartati dan tanggalnya dibuat mundur menjadi tanggal 21 Mei 2012. Kemudian adanya pemberian Rp 1 miliar ke Amran pada tanggal 18 Juni 2012 jam 01.30 WITA. Disusul pada tanggal 19 Juni 2012, Amran mengeluarkan surat penolakan HGU atas tanah seluas 4.500 hektar untuk PT Sebuku. Selain itu, juga surat ke Gubernur Sulawasi Tengah perihal rekomendasi atas nama PT CCM untuk izin perkebunan lahan 4.500 hektar, dan surat ke Menteri Negara Agraria agar keluarkan izin lahan 4500 hektar atas nama PT CCM.

Hakim memiliki bukti rekaman percakapan telepon Hartati yang mengucapkan terima kasih pada Amran melalui telepon gengam Direktur PT Hardaya Inti Plantation (HIP) Totok Lestiyo pada 20 Juni. Ucapan terima kasih tersebut atas barter Rp 1 miliar dengan lahan 4500 hektar. Kemudian, saat itu Hartati kembali meminta 50000 hektar lahan dan berjanji barter dengan Rp 2 miliar.

"Dari fakta-fakta hukum terlihat bahwa tanggal 20 Juni malam hari terdakwa dengan handphone Totok, menelpon Amran mengucapkan terima kasih bahwa sudah barter lahan 4500 hektar dengan 1 kilo yang dimaksud Rp 1 miliar. Kemudian meminta 50.000 hektar lagi dengan janji barter 2 miliar dan Amran setuju," ujar hakim Made Hendra.

Pledoi (nota pembelaan) Hartati pun ditolak seluruhnya oleh majelis hakim. Hakim menilai, nota pembelaan tanpa didukung bukti yang cukup. Sebelumnya, Hartati berdalih uang Rp 3 miliar yang diberikan ke Amran tersebut bukanlah suap melainkan bantuan dana kampanye pemilihan kepala daerah (Pemilkada) Buol 2012. Saat itu, Amran tengah maju sebagai calon petahan. Hartati berkilah, pemberian uang itu tidak berkaitan dengan kepengurusan hak guna usaha (HGU) perkebunan karena, menurutnya, PT HIP sebenarnya tidak membutuhkan izin yang ditandatangani Amran seusai pemberian uang tersebut.

Dalam memutuskan perkara ini, majelis hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang dianggap meringankan hukuman Hartati. Hakim menilai Hartati berjasa dalam membangun perekonomian di Buol dan berperilaku sopan selama proses hukumnya. Sementara hal yang memberatkan, perbuatan Hartati dianggap telah mennciderai tatanan birokrasi pemerintahan yang bersih dan memberantas korupsi. Perbuatannya juga dinilai kontraproduktif sebagai pengusaha. Atas putusan tersebut, Hartati dengan wajah datar mengaku masih berpikir lebih lanjut untuk mengajukan banding atau tidak.

Puluhan pendukung Hartati yang memenuhi ruang sidang pun tampak tenang mendengar putusan hakim yang lebih ringan dari tuntutan tersebut. Seusai sidang, Hartati yang mengenakan pakaian hitam dibalut blazer berwarna krem itu langsung memasuki ruang terdakwa.

Berita terkait dapat diikuti dalam topik:
Vonis Hartati Murdaya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

    Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

    Nasional
    Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

    Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

    Nasional
    Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

    Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

    Nasional
    Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

    Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

    Nasional
    Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

    Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

    Nasional
    Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

    Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

    Nasional
    Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

    Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

    Nasional
    JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

    JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

    Nasional
    Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

    Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

    Nasional
    Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

    Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

    Nasional
    DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

    DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

    Nasional
    Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

    Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

    Nasional
    Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

    Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

    Nasional
    Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

    Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

    Nasional
    Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

    Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com