Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Duit adalah Panglima"

Kompas.com - 02/02/2013, 03:32 WIB

Setelah Pemilu-Pilpres 1999, telah dibangun kondisi oligarkis. Partai-partai besar mengamankan kepentingan masing-masing dengan mengetatkan pintu masuk bagi partai-partai baru ataupun para pemimpin baru.

Undang-undang yang berkaitan dengan pemilu dan pilpres diubah-ubah sesuka hati dan disesuaikan dengan kepentingan masing-masing partai. Itulah yang tecermin dari aturan-aturan ”ambang batas” yang kurang masuk akal sehat.

Politisi-politisi kita cuma hebat untuk urusan demokrasi prosedural semata, kurang memahami esensinya. Pilpres, pemilu, ataupun pilkada hanya ajang jualan citra dan pidato tanpa makna.

Proses politik kerap bersifat transaksional alias tidak transformatif. Ada lelucon yang mengatakan, dengan modal sekitar Rp 1 miliar, seorang anggota DPR sudah untung (baca: lebih dari balik modal) dengan mengandalkan gaji lima tahun saja.

Keuntungan lebih besar diraih dari proses legislasi yang nilainya triliunan rupiah melalui kerja sama dengan para pejabat tinggi yang sebagian juga politisi. Jika ketahuan korupsi, toh masih belum rugi walau dibui beberapa tahun.

Jangan salah, masih banyak politisi jujur. Akan tetapi, mereka telanjur terjebak di dalam mekanisme transaksional di partai-partai mereka.

Kini, partai dan politisi mempermalukan diri mereka sendiri di depan umum. Dalam kondisi ini rakyat pemilih enggan membantu mereka, malah menghukum dengan mengambil sikap golput.

Ya, hanya partai dan politisi yang bisa membantu nasib mereka sendiri. Ini sebuah tantangan mahabesar yang tampaknya masih akan sukar ditanggulangi sampai ”tahun politik” 2014.

Terlebih lagi mayoritas pemilih adalah massa mengambang yang menurut istilah Barat, ”too dumb to be governed”. Sulit membayangkan pemilih yang masa bodoh yang dipimpin oleh mereka yang ”too dumb to govern”.

Dan, kita harus menelan ludah saja karena yang akan memilih dan yang akan dipilih tahun 2014 lebih percaya pada rupiah ketimbang ideologi, politik aliran, atau cita-cita. Jika pada era Orde Lama berlaku prinsip ”politik adalah panglima”, pada era Orde Baru ”pembangunan adalah panglima”, pada era orde ini ”duit adalah panglima”.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com