Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Duit adalah Panglima"

Kompas.com - 02/02/2013, 03:32 WIB

Akibat dari apa yang disebut oleh Lasswell tersebut sering kita saksikan tiap hari. Jangan-jangan politik sekarang ini menjadi ancaman serius terhadap kemaslahatan kita sebagai bangsa.

Lihat saja bagaimana setiap pilkada hampir pasti berakhir dengan kerusuhan atau gugatan ke pengadilan. Pada faktanya, isu sara pun dimanipulasi dalam pilkada di Ibu Kota saat kampanye.

Saya tidak mau bersikap pesimistis karena bagaimana pun tentu masih banyak rakyat yang berharap politik kita tak terlalu lama ”sakit”. Demokrasi butuh waktu, dan rupanya 14 tahun lebih politik kita masih ibarat anak balita merangkak.

Sungguh sebuah ironi menyedihkan karena bangsa dan negara ini diawali oleh politik beradab oleh tokoh-tokoh dan partai-partai besar. Kehadiran tahun-tahun penting 1908, 1928, dan 1945 dibidani oleh ideologi, partai, dan politik.

Panggung politik kita dibuka oleh apa yang dinamakan ”politik aliran” yang kanan, kiri, dan tengah. Militer kita pun sempat berubah wujud jadi ”Partai ABRI”, mahasiswa kita pun berjuang lewat ”politik parlemen jalanan”.

Pemilu 1955 diikuti hampir 100 partai yang membawa nama ideologi, aliran politik, etnis, dan perseorangan. Kredibilitas pemilu-pemilu Orde Baru memang layak dipertanyakan, tetapi partai tetap jadi penaung aspirasi massa mengambang.

Bung Karno mengenalkan idiom ”politik adalah panglima”. Sebegitu vitalnya partai, Orde Baru membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memilih antara sistem dwipartai dan tiga partai.

Politik, partai, dan politisi masih dan akan tetap eksis untuk saat ini dan masa depan. Masalahnya, mengutip sebuah lirik lagu Bon Jovi, ”It is you politicians who give politics a bad name”.

Problem utama terletak pada sikap asyik sendiri partai yang sudah lama melenceng dari konstitusi. Politik mestinya proses yang ”longgar” alias ”tidak ketat” yang terbuka bagi siapa pun.

Politik seolah-olah hanya ajang eksklusif bagi partai-partai yang itu-itu lagi. Setiap ruang untuk membuka jalur politik guna menyalurkan aspirasi kelompok atau golongan ditutup rapat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com