Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teruskan (Ide) Proyek Hambalang

Kompas.com - 20/12/2012, 18:59 WIB

JAKARTA, Kompas.com - Kasus korupsi mega proyek Hambalang dapat menimbulkan sinisme terhadap kebutuhan pengembangan prestasi olah raga Indonesia.

Proyek Hambalang yang berupa pendirian  pusat pembinaan dan pelatihan atlet Indonesia secara modern telah  menyeret sejumlah nama politisi seperti Nazarudin, Angelina Sondakh dan Menpora Andi Mallarangeng.

Kasus ini seperti juga kisruh sepakbola Indonesia juga semakin menguatkan anggapan bahwa di mata dan tangan politisi, olah raga hanyalah alat untuk membesarkan nama dan dana.

Di sepakbola, kita dipaksa tak hanya mengenal nama-nama pemain seperti Irfan Bachdim atau Octo Maniani tetapi juga "menelan" nama-nama seperti Djohar Arifin, La Nyala Mattalitti sebagai bagian penting dari keberlangsungan sepakbola negara ini.

Padahal seharusnya olah raga adalah panggung atlet dan prestasinya. Seperti kita mengenal nama Lionel Messi namun  tak peduli siapa Presiden AFA (Asosiasi sepakbola Argentina). Atau di Indonesia kita lebih peduli apakah Ramang, Iswadi, Soetjipto, atau pun Ponaryo Astaman masih bermain di timnas ketimbang nama-nama Kosasih Purwanegara, Bardosono, Kardono atau nama lain yang pernah jadi ketua umum PSSI.

Kisruh PSSI-KPSI di sepakbola serta mega proyek Hambalang dikhawatirkan justru akan menimbulkan sikap kontra produktif pada masayarakat yang jadi membenci olah raga itu sendiri. Sudah tidak berprestasi, ribut melulu, menghabiskan uang pula?

Padahal keberlangsungan sepakbola atau kemajuan olah raga  merupakan bagian dari indikator keberhasilan suatu bangsa mengelola dirinya. Di bidang pendidikan olah raga kita sudah demikian ketinggalan dibandingkan negara tetangga di ASEAN sekali pun.

Malaysia telah memiliki pusat olah raga di Bukit Jalil yang menghasilkan peloncat indah Pandelela yang meraih medali perunggu di Olimpiade London lalu. Sementara Singapura telah lebih dulu membuat Singapore Sports School (SSS), suatu konsep institusi pendidikan yang menyeimbangkan prestasi olah raga dan kelanjutan akademis. SSS bahkan memberikan bea siswa buat siswa-atlet negara ASEAN. Perenang asal Jabar, Bryan Tjut merupakan satu atlet masa depan Indonesia yang mendapatkan fasilitas tersebut.

Padahal konsep pendidikan atlet itu dimulai di Indonesia, tepatnya di Ragunan.  Sekolah atlet Ragunan dibangun dengan ide arsitek olah raga MF SIregar almarhum dan didukung dan diresmikan Gubernur DKI Ali sadikin pada 1975. Di institusi pendidikan ini lahir atlet-atlet nasional seperti Lius Pongoh dsan Susy Susanti (bulu tangkis), Anita Sapardjiman dan Lukman Niode (renang) serta Irwati Moerid (tenis). Bukan hanya kalangan atlet, Dr Rizal Mallarangeng -adik Andi Mallarangeng- bahkan juga menimba ilmu di Ragunan sebelum melanjutkan studi ilmu politik di Amerika.

Namun sekolah atlet Ragunan saat ini memang tak lagi ideal untuk menghasilkajn atlet yang berpersatasi tingkat nasional, regional apalagi dunia.  Fasilitas yang minim dengan bangunan yang sudah tak layak ditambah kurikulum tak memadai.  Terlebih lagi lingkungan Ragunan yang terbuka dan ramai membuat tempat ini tak lagi ideal  untuk konsentrasi atlet.

Persoalannya bukan sekadar membenahi Ragunan, karena itu pasti dengan mudah dimintakan kepada Pak Jokowi atau pun Pak Basuki. Namun kita memang membutuhkan suatu institusi pendidikan yang menempatkan olah raga sebagai bidang ilmu dan kajian dengan tujuan akhir prestasi dan perkembangan atlet. Seperti yang sudah dikembangkan Malaysia dan  Singapura. Kita memang butuh proyek ini yang tentu saja modern dan bebas KKN.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com