Lantas apa yang sebaiknya ditimbang untuk menghentikan keriuhan yang tidak perlu tanpa mengganggu kelanjutan kerja yang masih jauh dari usai ini?
Tidak usah banyak mengubah, nanti malah menjadikan heboh. Sedikit saja. Hilangkan ketentuan yang menyangkut aspek psikologis tadi. Tak usah lagi KPK menjadi koordinator dan supervisor kepolisian dan kejaksaan.
Koordinasi tetap perlu, tetapi tanpa salah satu harus menjadi koordinator. Dalam kultur yang sakit, yang berkembang bukan fungsi kerja sama dan kesetaraan. Adapun yang berkembang justru adanya anggapan: ”dalam koordinasi, ada pihak yang dikoordinasi dan yang mengoordinasi. Yang dikoordinasi lebih rendah daripada yang mengoordinasi”.
Tak perlu pula ada supervisor kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Biarlah kembali ke ”khitah”-nya: bahwa, baik sesuai UU Kejaksaan ataupun UU Kepolisian, Presiden-lah sesungguhnya supervisor kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian adalah kepolisian negara. Kejaksaan adalah aparat negara di bidang penuntutan. Presiden adalah juga kepala negara.
Pengendalian Presiden atas kedua institusi itu berada di tataran kebijakan dan strategis. Presiden tidak semestinya khawatir dituding melakukan ”intervensi hukum” hanya karena melakukan kewajiban UU. Turun tangan adalah tugas UU dan berbeda dari ”intervensi”. Turun tangan meluruskan hal-hal yang bersifat strategis dan menyimpang dari kebijakan adalah kewajiban.
Di sini, yang penting, Presiden tidak masuk ke tataran proses dan teknis yustisial. Kurang apa lagi? Bila DPR tidak puas dengan kualitas supervisi oleh Presiden, DPR dapat mempertanyakannya kepada Presiden. Dengan fungsi pengawasannya, DPR pun dapat mengundang kedua institusi tadi dan menanyakan langsung penanganan tindak pidana korupsi yang mereka tangani. Para politisi tersebut pastilah paham batas antara mana yang campur tangan dan mana yang bukan.
Tak usah lagi KPK mengambil alih penanganan kasus yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan. Masyarakat sudah cerdas dan sangat kritis. Media massa juga sudah demikian bebas menulis apa yang dirasanya janggal. Bila KPK bisa berjalan dengan tumpuan, antara lain, laporan lembaga-lembaga swadaya, bukankah Presiden dan DPR juga dapat menggunakan laporan masyarakat dan media massa sebagai bahan supervisi? Kalau penanganan kasus dinilai tidak beres di kedua institusi tadi, mekanisme supervisi oleh Presiden dan DPR yang mestinya berjalan.
Begitu pula dengan soal pertanggungjawaban institusi. Jangan biarkan KPK terus hidup sebagai lembaga yang tidak bertanggung jawab kepada siapa pun dalam ketatanegaraan ini. KPK tidak menjadi hebat, gagah, dan dikagumi dengan status seperti itu. Jangan-jangan malah KPK sesungguhnya yang menjadi ”bancakan” banyak pihak. Mudah-mudahan kita semua dapat melihatnya.
Bagaimana halnya dengan tugas dan kewenangan KPK selebihnya? Tidak usah diutak-atik. Biarkan saja dahulu menjadi tugas dan kewenangan KPK.
Bambang Kesowo Pengajar Program Pascasarjana FH UGM
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.