JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa bergerak lebih cepat dalam menyidik kasus-kasus korupsi besar, masalah muncul dengan berakhirnya masa bakti sejumlah penyidik KPK berlatar belakang Polri.
Terkait masalah tersebut, mantan Ketua Tim Analisis dan Advokasi KPK, Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto mengusulkan kemungkinan pemberian hak kepada KPK untuk merekrut, mendidik, dan memiliki penyidik sendiri.
"Dengan begitu KPK tidak tergantung pada institusi lain. Selain itu juga tujuannya untuk menghindari adanya konflik kepentingan terkait penyidik," kata Endriartono kepada wartawan di Jakarta, Minggu (9/12/2012).
Endriartono menilai wajar jika serangan demi serangan terus dihadapi KPK. Pasalnya, pihak-pihak yang berposisi kontra gerakan antikorupsi tidak lain mereka yang memiliki modal dari sisi finansial maupun posisi strategis.
"Karena itu tidaklah heran kalau lalu keluar wacana untuk melakukan revisi terhadap UU KPK dengan mencabut beberapa kekuatan yang dimilikinya KPK seperti hak penindakan dan hak penyadapan, termasuk dengan penarikan sejumlah besar penyidik yang berasal dari institusi lain," papar mantan Panglima TNI.
Endriartono menilai, di satu pihak KPK bisa saja menghadapi kendala tersebut tanpa daya. Namun, KPK mendapat dukungan masyarakat luas yang gerah terhadap perilaku koruptif para pejabat. "KPK didukung masyarakat yang menilai semua itu dengan mata hati," kata Endriartono.
Poin lain yang membuat para pelaku KKN gerah terhadap sepak terjang KPK adalah karena mereka yang terjerat penyidikan KPK tidak ada kemungkinan untuk lolos melalui penghentian penyidikan.
Pasalnya, UU KPK tidak memberikan hak dan kewenangan kepada KPK untuk mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Perkara. Ini berbeda dengan potensi dikeluarkannya SP3 di kepolisian. Konsekuensinya, KPK harus benar-benar memiliki minimal dua alat bukti berkekuatan hukum untuk menetapkan tersangka.
Dampak lebih lanjut, KPK akan sangat berhati-hati dalam penyelidikan kasus sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. Namun, justru hal inilah yang disalahpahami oleh sebagian orang dengan yang menilai ada intervensi dalam prioritas kasus.
"Hal inilah lalu dipersepsikan orang bahwa KPK itu tidak segera menyatakan seseorang sebagai tersangka adalah akibat dari adanya intervensi, terutama kalau terkait dengan kasus yang melibatkan pejabat tinggi atau orang-orang tertentu yang memiliki kekuasaan," katanya.
Menurut Endriartono, penetapan Andi Mallarangeng sebagai tersangka bisa membungkam anggapan tersebut. Pasalnya, Andi bukan saja berstatus Menteri Pemuda dan Olahraga tetapi juga sekretaris dewan pembina dari partai yang memerintah.
"Saya paham betul bahwa KPK itu tidak dapat diintervensi. Kasus Menpora ini menjadi butki hal tersebut," pungkas Endriartono.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.