Banda Aceh, Kompas -
Indikator-indikator itu mulai dari angka kemiskinan yang tinggi, rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM), dan stagnasi kualitas pendidikan di Aceh. Demikian analisis Masyarakat Transparansi Aceh (Mata) bekerja sama dengan Public Expenditure Analysis & Capacity Strengthening Program (Peccap), yang didukung Bank Dunia dan Australia Aid, Jumat (7/12).
Koordinator Mata, Alfian, mengatakan, selama lima tahun terakhir, belanja di APBD Provinsi Aceh atau Kabupaten se-Aceh sampai sekitar Rp 91 triliun. Jumlah itu termasuk dana otonomi khusus dari pusat kepada Aceh yang totalnya mencapai Rp 20,9 triliun. Tahun depan, Aceh juga akan mendapat dana otonomi khusus Rp 6,1 triliun, di luar dana perimbangan lain.
Dengan jumlah itu, Aceh menjadi provinsi dengan anggaran terbesar di Sumatera. ”Bahkan, di Indonesia, Aceh tercatat provinsi terkaya ketujuh,” ujar Alfian.
Meski demikian, dari kajian Peccap, Aceh justru masuk sebagai daerah termiskin ketujuh di Indonesia. Penduduk miskinnya sebesar 20,98 persen dari jumlah penduduk Aceh sebanyak 4,3 juta jiwa. Padahal, persentase penduduk miskin di Indonesia rata-rata 13,3 persen.
Menurut analis Peccap, Harry Masyrafah, ketidakefisienan anggaran salah satunya disebabkan tingginya alokasi belanja tak langsung dalam struktur belanja publik. Ia mencontohkan dana pendidikan, yang 76 persen habis untuk belanja pegawai. Adapun alokasi untuk peningkatan kualitas pembangunan manusia justru jauh lebih kecil.
Oleh karena itu, Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah mengatakan, masukan dari Mata dan Peccap jadi bahan menyusun APBD selanjutnya.