Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kongkalikong akibat Mentalitas Birokrasi

Kompas.com - 26/11/2012, 04:58 WIB

OLeh Toto Suryaningtyas

Minusnya mentalitas bersih dalam aparat birokrasi menciptakan iklim yang menunjang perilaku kongkalikong pejabat negara. Parahnya, aparat pengawasan tak lagi bisa diharapkan. Alih-alih menjadi solusi, publik melihat mereka justru menjadi bagian dari persoalan. Tudingan kongkalikong yang disuarakan oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam, antara pejabat di tiga kementerian dan oknum anggota DPR, menguatkan sebuah stereotip lama, yaitu merebaknya ”mafia korupsi” pada lapis elite pemerintahan negeri ini. Meskipun tudingan korupsi terhadap penyelenggara negara sudah berkali-kali disuarakan, tercatat baru kali ini tudingan disuarakan dari dalam kabinet. Dipo berkelit itu adalah laporan pegawai negeri sipil di kementerian yang bersangkutan. Apa pun itu, gambaran parahnya pengelolaan sistem politik dan birokrasi di negeri ini sekali lagi disuguhkan kepada publik.

Seperti halnya kasus-kasus dugaan korupsi dan penyelewengan yang melibatkan elite pemerintahan sebelumnya, kali ini pun penyelesaian hukum tampak terpaksa ”tunduk” pada penyelesaian politik. Tindakan Dipo melaporkan dugaan kongkalikong kepada Komisi Pemberantasan Korupsi pun memicu polemik.

Politisi partai-partai besar menilai tindakan Dipo sebagai upaya pengalihan isu, mencari popularitas, tindakan tak etis, dan sebagainya. Sebaliknya, substansi ketidakberesan pengelolaan anggaran negara tampaknya tak mendapatkan dukungan politik yang memadai dari elite politik.

Terlepas dari kesibukan pejabat kementerian, politisi DPR, dan elite parpol menangkis laporan Dipo, persepsi publik atas perilaku koruptif para penyelenggara negara telanjur menguat. Mayoritas responden dalam jajak pendapat ini, hampir 90 persen, percaya pada kebenaran substansi tudingan Dipo Alam tersebut.

Di mata publik, kongkalikong dalam menyelewengkan anggaran negara melibatkan kader parpol di DPR, pejabat tinggi di kementerian, bahkan kalangan swasta yang menjadi rekanan proyek. Persepsi publik cenderung sama, yakni menilai kongkalikong semata-mata korupsi yang bersifat langsung atas uang negara.

Dari sisi pelaku, meski berbagai kasus korupsi yang menonjol melibatkan pula pegawai-pegawai di level staf dan struktural lapis bawah (kasus Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika), dua pertiga publik (66,9 persen responden) menganggap korupsi lebih banyak terjadi di level pejabat tinggi, terutama yang menduduki jabatan eselon di institusinya. Sebaliknya, di mata publik, praktik pencurian uang negara di level staf yang tak memiliki jabatan di institusi sangat jarang terjadi.

Berbagai faktor menjadi penyebab penyelewengan uang negara. Di mata publik (68,9 persen responden), sikap mental yang tak ditopang moralitas menjadi penyebab paling besar kongkalikong. Sikap itu dibentuk dari kultur birokrasi yang feodalistis dan minta dilayani ketimbang melayani. Satu di antaranya terindikasi dari pelayanan pejabat ketika berkunjung ke daerah atau instansi tingkat lebih rendah. Sebagian besar responden menilai pejabat ketika berkunjung selalu meminta berbagai fasilitas dan pelayanan yang berlebihan dan di luar urusan kedinasan.

Dari konteks pencurian uang negara yang lebih luas, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia Eko Prasojo menyatakan, banyak faktor yang menyebabkan, tak hanya dalam dimensi penegakan hukum, mengapa Republik ini terus saja tersandera korupsi. Di antaranya kewenangan birokrat yang tak terkontrol, oligarki kekuasaan, sistem hukum dan politik yang tak kompatibel, lemahnya pengawasan pemerintah pusat kepada daerah, dan lemahnya pengawasan oleh masyarakat itu sendiri (Kompas, 24 Januari 2011).

Kontrol lemah

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com