OLeh Toto Suryaningtyas
Minusnya mentalitas bersih dalam aparat birokrasi menciptakan iklim yang menunjang perilaku kongkalikong pejabat negara. Parahnya, aparat pengawasan tak lagi bisa diharapkan. Alih-alih menjadi solusi, publik melihat mereka justru menjadi bagian dari persoalan.
Seperti halnya kasus-kasus dugaan korupsi dan penyelewengan yang melibatkan elite pemerintahan sebelumnya, kali ini pun penyelesaian hukum tampak terpaksa ”tunduk” pada penyelesaian politik. Tindakan Dipo melaporkan dugaan kongkalikong kepada Komisi Pemberantasan Korupsi pun memicu polemik.
Politisi partai-partai besar menilai tindakan Dipo sebagai upaya pengalihan isu, mencari popularitas, tindakan tak etis, dan sebagainya. Sebaliknya, substansi ketidakberesan pengelolaan anggaran negara tampaknya tak mendapatkan dukungan politik yang memadai dari elite politik.
Terlepas dari kesibukan pejabat kementerian, politisi DPR, dan elite parpol menangkis laporan Dipo, persepsi publik atas perilaku koruptif para penyelenggara negara telanjur menguat. Mayoritas responden dalam jajak pendapat ini, hampir 90 persen, percaya pada kebenaran substansi tudingan Dipo Alam tersebut.
Di mata publik, kongkalikong dalam menyelewengkan anggaran negara melibatkan kader parpol di DPR, pejabat tinggi di kementerian, bahkan kalangan swasta yang menjadi rekanan proyek. Persepsi publik cenderung sama, yakni menilai kongkalikong semata-mata korupsi yang bersifat langsung atas uang negara.
Dari sisi pelaku, meski berbagai kasus korupsi yang menonjol melibatkan pula pegawai-pegawai di level staf dan struktural lapis bawah (kasus Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika), dua pertiga publik (66,9 persen responden) menganggap korupsi lebih banyak terjadi di level pejabat tinggi, terutama yang menduduki jabatan eselon di institusinya. Sebaliknya, di mata publik, praktik pencurian uang negara di level staf yang tak memiliki jabatan di institusi sangat jarang terjadi.
Berbagai faktor menjadi penyebab penyelewengan uang negara. Di mata publik (68,9 persen responden), sikap mental yang tak ditopang moralitas menjadi penyebab paling besar kongkalikong. Sikap itu dibentuk dari kultur birokrasi yang feodalistis dan minta dilayani ketimbang melayani. Satu di antaranya terindikasi dari pelayanan pejabat ketika berkunjung ke daerah atau instansi tingkat lebih rendah. Sebagian besar responden menilai pejabat ketika berkunjung selalu meminta berbagai fasilitas dan pelayanan yang berlebihan dan di luar urusan kedinasan.
Dari konteks pencurian uang negara yang lebih luas, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia Eko Prasojo menyatakan, banyak faktor yang menyebabkan, tak hanya dalam dimensi penegakan hukum, mengapa Republik ini terus saja tersandera korupsi. Di antaranya kewenangan birokrat yang tak terkontrol, oligarki kekuasaan, sistem hukum dan politik yang tak kompatibel, lemahnya pengawasan pemerintah pusat kepada daerah, dan lemahnya pengawasan oleh masyarakat itu sendiri (