Jakarta, Kompas -
Hal itu terungkap dalam konferensi pers bersama ”Menolak RUU Kamnas”, Minggu (18/11) di Jakarta. Hadir dalam konferensi pers antara lain Al Araf dari Imparsial, Romo Benny Susetyo dari Konferensi Waligereja Indonesia, peneliti militer Jaleswari Pramodhawardani, KH Maman Imanulhaq, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, sosiolog Thamrin Amal Tamagola, mantan anggota Komnas HAM MM Billah, mantan anggota DPR Ignatius Suprapto, Hendardi dari Setara Institute, Andar Nubowo dari Angkatan Muda Muhammadiyah, Agus Sudibyo dari Dewan Pers, Usman Hamid dari Kontras, sosiolog Otto Syamsuddin Ishak, dan mantan jaksa Chairul Imam.
RUU Kamnas dinilai prematur dengan formulasi yang buruk mulai dari filosofi sampai penulisannya. Meski pemerintah menyatakan telah mencabut beberapa pasal, secara umum RUU itu tidak hanya tumpang tindih dengan UU keamanan lain, tetapi juga tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, RUU Kamnas ini memiliki 40 pasal bermasalah dan berpotensi untuk penyalahgunaan kekuasaan. Usman Hamid menyoroti Pasal 1 yang mendefinisikan ideologi sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan pengerahan pasukan. Pasal 14 juga dianggap berlebihan karena kerusuhan sosial ada dalam ranah hukum sehingga cukup diatasi Polri.
RUU Kamnas ini juga sarat dengan muatan kepentingan rezim untuk mempertahankan kekuasaannya pada 2014 dan menyudutkan rakyat sebagai penderita dari eksploitasi kapitalisme global yang menggunakan militer sebagai pengawalnya.
Menurut Jaleswari, harus dibuat ulang dari kerangka paling mendasar, yaitu definisi pertahanan, keamanan internal, dan ranah publik. Seakan-akan negara dalam keadaan darurat. Padahal, kata Ignatius Suprapto, masalah dalam negeri tidak bisa dilihat sebagai ancaman, tetapi gangguan hukum.
Agus Sudibyo mendorong agar media melakukan gerakan penolakan lebih masif karena pers sangat terancam.