JAKARTA, KOMPAS.com — Pemberian grasi untuk terpidana narkoba, Meirika Franola alias Ola, memperlihatkan lemahnya kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Soalnya keringanan hukuman itu justru diberikan kepada pengedar narkoba yang kemudian justru menjadi otak kasus baru penyelundupan sabu.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah A Syafii Maarif mengungkapkan penilaian itu di Jakarta, Senin (12/11/2012).
Sebagaimana diberitakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru saja memberikan grasi dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup kepada Ola. Namun, penerima grasi itu justru diduga menjadi otak dalam penyelundupan sabu seberat 775 gram dari India.
Bagi Syafii Maarif, proses pemberian grasi yang tidak cermat itu mencerminkan kepemimpinan Presiden Yudhoyono yang lemah. Semestinya Presiden meminta informasi dan pertimbangan yang akurat sebelum memutuskan memberi grasi. Namun, hal itu ternyata tidak dilakukan sehingga melahirkan kebijakan yang bermasalah.
"Masa Presiden tidak menerima informasi yang utuh. Mungkin memang ada benarnya dugaan bahwa ada mafia narkoba yang berpengaruh pada lingkaran Istana," katanya.
Kontroversi pemberian grasi itu kini merupakan risiko dari ketidakcermatan Presiden. Rupanya pemerintah tidak sungguh-sungguh belajar dari kasus-kasus sebelumnya. Jika grasi kemudian dicabut, itu semakin menunjukkan kelemahan itu.
"Kalaulah ditelusuri dan diketahui siapa yang memberi pertimbangan grasi, mungkin sudah tak ada gunanya. Presiden sudah lemah dan akan lebih lemah lagi," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.