Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berbaur dalam Keberagaman, Menjaga Pluralisme

Kompas.com - 13/11/2012, 03:23 WIB

Konflik antargolongan semakin sering terjadi di negara ini. Ironis sekali, konflik terjadi di negara yang mempunyai semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Semangat keberagaman hangus begitu saja, saat konflik terjadi.

akhir-akhir ini, tema pluralisme sering diusung generasi muda untuk bergerak. Berbagai forum, baik nasional maupun lokal, mengajak mahasiswa dengan beragam latar belakang untuk berbicara soal pluralisme.

Franky Febryanto Banfatin, mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, menjadi salah satu mahasiswa yang sering terlibat dalam kegiatan yang mengusung isu pluralisme. ”Salah satu kegiatan berskala nasional yang saya ikuti adalah Interfaith Youth Forum 2012 di Palembang. Saat ini saya juga sedang mengikuti proses seleksi untuk belajar di Amerika Serikat dalam program Religious and Pluralism, dari Kedutaan Besar AS,” ujarnya.

Dalam mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan pluralisme pada tingkat nasional Franky masih sebagai peserta. Namun, di kampusnya, dia sering didapuk menjadi pembicara atau pemimpin suatu kegiatan. Dari berbagai kegiatan tersebut bisa mendapat banyak hal. Pemahaman baru dan pengalaman hidup di tengah keberagaman membuatnya tidak bermain persepsi dan prasangka. ”Saya bisa bertanya langsung tentang banyak hal terhadap kepercayaan atau pemahaman suatu kelompok,” kata Franky.

Ria Apriyani, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Unikom, Bandung, juga sering mengikuti kegiatan yang mempertemukan orang-orang dalam keberagaman. Salah satu kegiatan yang baru saja diikutinya, Pelatihan Jurnalistik Lintas Agama, yang digelar Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang (FLADS), di Bandung.

Sebagai pemeluk agama minoritas di Indonesia, Ria selalu percaya bahwa dialog yang baik dan kemauan untuk saling mengenal serta memahami bisa menghindarkan sebuah konflik. ”Bicara saja memang enggak cukup. Berdialog itu perlu buat meluruskan kesalahpahaman dan menciptakan saling pengertian. Perlu ada tindakan nyata untuk mewujudkan keindahan kerukunan dalam kondisi yang beragam. Jadi, saya berhenti menilai orang melalui stereotip-stereotip yang berlaku,” ujarnya.

Bersikap kritis

Sementara, Winner Fransisca Manik, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina, mengatakan, perbedaan pasti akan ditemukan di mana pun kita berada, apalagi masih di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ”Kita harus melihat perbedaan bukan untuk memecah, tetapi mempersatukan. Mahasiswa harus melihat perbedaan dengan lebih dahulu mencari tahu tentang perbedaan itu, mencoba dekat dengan perbedaan itu, lalu mengenalnya dengan baik,” ujar Winner.

Suara mahasiswa pasti akan memiliki tempat di masyarakat, lanjut Winner, sehingga tidak ada salahnya mahasiswa bersikap kritis terhadap perbedaan, bukan dengan prasangka. ”Dengan mengenal dan merasa menjadi bagian dari perbedaan itu, mahasiswa dapat melakukan apa saja yang mendukung pluralisme sebagai alat pemersatu bangsa. Mahasiswa dapat menulis opini di banyak media, mahasiswa dapat membuat forum- forum diskusi kecil dan pada akhirnya mahasiswa bukan lagi orang yang enggan membantu orang lain jika mereka berbeda,” kata Winner.

Fajar Riza dari Maarif Institute menilai, secara umum di Indonesia belum terlalu masalah dengan pluralisme. Namun, tren-nya mencemaskan karena toleransi berkurang. Hal ini terutama terlihat dari kalangan menengah di negeri ini yang bersikap pasif, diam, dan membiarkan masalah berlangsung.

”Kehidupan mereka mapan. Mereka kalangan yang konservatif, pragmatis, dan tidak peduli demokrasi. Jadi, selama tidak ada yang mengusik kenyamanan mereka, mereka tidak peduli. Padahal, mereka kalangan terbanyak dan memiliki kemampuan mengubah banyak hal,” kata Fajar.

Bahkan, kalangan mahasiswa pun sangat pasif. Tuntutan studi membuat mereka fokus segera menyelesaikan kuliah dan mencari kerja agar hidup mapan. Apalagi, umumnya mereka berasal dari keluarga menengah.

Sesungguhnya golongan yang intoleran tidak bertambah jumlahnya. Mereka tetap kecil, tetapi konsisten hidup dan dapat memengaruhi mereka yang toleran. Lebih parah lagi, pemerintah membiarkan kondisi ini berlangsung. Pemerintah tidak punya kebijakan yang afirmatif mengenai pluralisme. Malah pemerintah cenderung ke satu golongan tertentu.

”Di bidang pendidikan, tidak ada kebijakan yang mendukung kebhinnekaan bangsa Indonesia,” kata Fajar prihatin.

Secara internal, di dalam negeri ini pembahasan pluralisme belum menyentuh intinya. Ditambah pengaruh eksternal terkait globalisme dan kemajuan informasi, masalah yang terkait agama misalnya, mendapat tanggapan segera tanpa mencari tahu apa persoalan sebenarnya.

”Alhasil, tindakan yang muncul bersifat anarkis. Menurut saya, pluralisme merupakan sinergi nyata pemerintah, golongan agama, kelompok masyarakat, publik, mahasiswa, dan media. Mereka adalah pilar-pilar penopang keberagaman,” kata Fajar.

”Positive Movement”

Tak lagi berbicara soal perbedaan. Ajakan itulah yang dilakukan Inayah Wahid kepada kaum muda. Dia mendirikan Positive Movement yang diharapkan bisa menyiapkan agen-agen perubahan untuk peningkatan kualitas kebahagiaan diri. Tentu saja, anggotanya berasal dari beragam latar belakang.

”Enggak sulit mengajak mereka untuk ikut berdialog. Banyak anak muda yang mau jadi agen perubahan. Kondisi negara yang tidak kondusif menyadarkan mereka untuk bergerak, tetapi tidak tahu dimulai dari mana. Untuk itu kami mengampanyekan kepada mereka bahwa perubahan dimulai dari diri sendiri,” ungkap Inayah, putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Beberapa kegiatan Positive Movement seperti diskusi bulanan dan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Saat ini, mereka sedang menyiapkan Forum Pemuda Indonesia II yang akan digelar di Bali.

”Forum Pemuda Indonesia I dilaksanakan tahun ini. Banyak yang senang dengan kegiatan ini, mereka malah merasa kurang karena waktunya hanya tiga hari. Antusiasme mereka besar sekali, malah senang bertemu dengan teman-teman yang berbeda,” ujarnya.

Perbedaan akan menjadi lebih indah bila disikapi dengan benar. Keberagaman akan membahagiakan semua orang bila dipahami dengan baik. Saatnya mahasiswa berbaur dalam keberagaman, menjaga pluralisme.

(SIE/TIA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com