Jakarta, Kompas
Desakan itu dikatakan Kepala Bidang Penelitian Hukum Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jaleswari Pramodhawardani dan pengajar psikologi sosial Universitas Indonesia, Bagus Takwin, secara terpisah, Rabu (7/11) di Jakarta.
Meski terus diprotes, saat ini masih banyak bekas terpidana korupsi yang tetap menjadi pejabat di pemerintah daerah. Mereka antara lain tersebar di Kabupaten Karimun, Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga Daria, Kabupaten Majene, Provinsi Maluku Utara, dan Kabupaten Buru.
Menteri Dalam Negeri memang akhirnya mengeluarkan surat edaran tertanggal 29 Oktober 2012 yang berisi melarang mantan terpidana dipromosikan sebagai pejabat struktural di pemerintahan.
Jaleswari menilai, pengangkatan bekas terpidana korupsi menjadi pejabat publik itu menunjukkan, pemberantasan korupsi masih lemah. Pemerintah daerah belum menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas. Padahal, memerangi korupsi membutuhkan kemauan, kedisiplinan, dan tindakan tegas yang tidak bisa ditawar.
”Pejabat negara yang pernah korupsi harus dipecat dari jabatannya. Kalau perlu, berikan sanksi juga kepada kepala daerah atau elite pemerintah daerah yang mempromosikan penjahat korupsi untuk menempati kursi pemerintahan,” katanya.
Bagus mengatakan, kepala daerah yang mempromosikan bekas terpidana korupsi menjadi pejabat jelas telah melemahkan kerja keras bangsa Indonesia dalam memerangi korupsi. Promosi itu akan menumbuhkan sikap permisif terhadap korupsi sehingga tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Perilaku koruptif bekas terpidana korupsi bisa terulang saat menjabat, bahkan menular dalam birokrasi.
”Hukuman terhadap koruptor itu cenderung ringan, bahkan bisa lebih singkat karena memperoleh keringanan. Setelah keluar, mereka bisa menikmati hasil korupsinya, bahkan kemudian dipromosikan menjadi pejabat. Semua itu membentuk kesan bahwa korupsi bukan lagi
Kepala daerah yang mengangkat pejabat dari bekas terpidana korupsi juga patut dicurigai. Jangan-jangan kebijakan itu dilandasi kepentingan tersembunyi kepala daerah. Kepala daerah semacam itu punya agenda sendiri di luar aspirasi masyarakat yang memilihnya.