Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/10/2012, 09:25 WIB
EditorHindra

Buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. (Soekarno)

KOMPAS.com - Pangan ternyata lebih ampuh daripada senapan. Bukan ketiadaan senjata yang membuat sebuah negara ambruk, melainkan ketersediaan pangan yang cukup bagi rakyat.

Tanpa bedil, asal perut kenyang, orang masih bisa berkelahi. Tanpa pangan, sejuta bedil pun tak bisa menyalak mempertahankan sebuah negara-bangsa. Pangan jadi pertaruhan eksistensi rezim kekuasaan.

Korea Utara menggunakan segenap sumber daya demi membangun nuklir tetapi membiarkan rakyatnya kelaparan. Sementara Kuba, kendati minim persenjataan dan diembargo oleh Amerika Serikat dan sekutunya, tetap mampu bertahan lantaran berhasil menyediakan pangan secara mandiri. Tumbangnya sejumlah rezim di Jazirah Arab tak lepas dari krisis pangan. Bak minyak ditukar roti, negara-negara petrodollar itu menggadaikan kedaulatan pangan kepada ”Negeri Paman Sam”. Henry Kissinger benar, ”Control oil and you control nations; control food and you control the people.”

Pidato Bung Karno, 14 Agustus 1945, di BPUPKI, menegaskan substansi keberadaan negara untuk mengakhiri kemiskinan dan kelaparan rakyat, ”Grondwet yang berisi droits de l ’homme et du citoyen itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin.” Karena itu, menurut Bung Karno, negara harus didasarkan pada paham kekeluargaan, tolong-menolong, gotong royong dan keadilan sosial, serta memupus individualisme dan liberalisme.

Imperialisme pangan

Apa yang kita makan mencerminkan siapa kita sesungguhnya. Sepuluh tahun lalu mi instan menjadi barang mewah bagi masyarakat pedesaan. Sekarang, mi instan jadi menu keseharian yang tak bisa ditinggal meski bahan bakunya 100 persen impor. Belakangan, sebagian warga DKI Jakarta sulit mendapat air minum dalam galon. Air yang semula barang publik berubah jadi komoditas ekonomi. Masyarakat pun jadi konsumen yang taat.

Angka impor pangan nasional saat ini sudah mencapai 70 persen. Total impor pangan Indonesia pada 2011 mencapai Rp 125 triliun. Sebanyak 2 juta ton beras per tahun impor dari Vietnam, Thailand, China, India, dan Pakistan. Jagung dibeli dari India, Argentina, dan AS. Kedelai impor 70 persen dari AS, Malaysia, Brasil, dan Thailand. Terigu impor 100 persen dari Australia. Daging sapi impor 30 persen dari Australia. Gula impor 30 persen, gandum 5 juta ton per tahun. Susu 90 persen dari Selandia Baru.

Tak cuma garam yang kita beli 50 persen dari Australia, India, Singapura, Selandia Baru, dan Jerman, ikan asin pun impor. Ada 40 jenis ikan impor ternyata ada di perairan kita.

Kopi yang selama ini andalan ekspor pun berubah haluan seiring penurunan kapasitas produksi nasional. Impor kopi hingga April 2012 sudah 38.799 ton, padahal sepanjang 2011 volume impornya 27.605 ton. Sayuran dan produk hortikultura, seperti wortel, kol, cabe, bawang putih, tomat, dan bawang merah, pun senada. Sementara buah-buahan didominasi dari China.

Mantra liberalisasi, anak kandung globalisasi, seakan fatwa yang harus diterima tanpa syarat. Keran-keran keterbukaan ekonomi dibuka lebar tanpa kontrol. Alhasil, kartel korporasi mencengkeram sektor pertanian, menguasai dari hulu hingga hilir.

Mereka mengontrol rantai pasokan makanan, mulai dari riset, paten, bibit, pupuk, pestisida, pengolahan, distribusi, ritel, spekulasi harga di bursa komoditas, bahkan mendikte kebijakan pemerintah. Ingat bocornya memo di Wikileaks tentang bagaimana diplomat AS meyakinkan pemimpin Eropa agar menerima produk transgenik (GMOs) dari Monsanto?

Kartel korporasi, seperti Monsanto, Syngenta, Dupont, Bayer, mencengkeram benih dan agrokimia. ADM, Louis Dreyfus, Cargill, Bunge menguasai distribusi perdagangan dan pengolahan bahan mentah. Pengolahan pangan dan minuman ada di tangan Nestle, Kraft, Unilever, dan PepsiCo. Adapun di sektor ritel bertengger Walmart, Carrefour, Metro, dan Tesco.

Di pelupuk mata, produk teh Sari Wangi dan kecap Bango kini 100 persen milik Unilever (Inggris). Kecap, sirup, saus ABC 65 persen sahamnya dipegang HJ Heinz (AS). Lalu, 74 persen saham Aqua dikuasai Danone (Perancis). Ades 100 persen milik Coca-Cola (AS). Produk susu, makanan bayi SGM, 82 persen sahamnya milik Numico (Belgia). Rokok Dji Sam Soe, 100 persen dikuasai Philip Morris (AS).

Basis ketahanan bangsa

Saat peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia, di Bogor, 27 April 1952, Bung Karno kembali menegaskan, ”Pangan adalah urusan hidup-mati bangsa.” Jika pangan dikuasai negara lain, sama saja menggadaikan nasib bangsa. Sebagai basis kehidupan dan ketahanan bangsa, kedaulatan pangan menjadi harga mati. Oleh karena itu, liberalisasi sektor pertanian harus dikontrol.

Gejolak harga pangan di pasar global tampak belum usai. Senada dengan prediksi International Food Policy Research Institute (IFPRI), Departemen Pertanian AS mengonfirmasi bahwa kekeringan yang melanda AS, Rusia, dan Australia mengakibatkan gagal panen sehingga dunia kembali menghadapi lonjakan harga pangan dalam lima tahun terakhir (The Economist, 15 September 2012).

Terpuruknya sektor pertanian kita tak lepas dari absennya regulasi dan kebijakan yang memihak petani, tetapi justru menguntungkan investor kakap. Lebih dari sekadar proteksi dan peningkatan kesejahteraan petani, daya saing sektor pertanian harus digenjot agar tak tergilas dari kompetisi global. Tanpa kemandirian dan kedaulatan pangan, masa depan bangsa sangatlah riskan.

Dengan Swadeshi, Mahatma Gandhi menyarankan bangsa India agar mencintai dan menggunakan produk lokal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Semangat kemandirian agar tidak bergantung kepada negara lain ditunjukkan dengan memintal benang dan menenun pakaiannya sendiri. Masa depan, menurut Gandhi, tergantung dari apa yang dilakukan sekarang.

Selemah-lemahnya iman, gerakan kemandirian bisa dimulai dari meja makan. Mengonsumsi produk pangan dalam negeri berarti melepas ketergantungan impor. Langkah ini sekaligus memperkuat ekonomi domestik, memberdayakan komunitas lokal, menciptakan lapangan pekerjaan, melindungi produsen dari serbuan asing, sekaligus meningkatkan kesejahteraan. Kemandirian dari meja makan bisa kita mulai dari sekarang!

Imam Cahyono Aktivis Muda Muhammadiyah; Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Prabowo Terima Kunjungan Kehormatan Menhan Qatar, Hadiahi Senapan Serbu Pindad

Prabowo Terima Kunjungan Kehormatan Menhan Qatar, Hadiahi Senapan Serbu Pindad

Nasional
Bantah Kabar Retaknya Hubungan Jokowi dan Megawati, Sekjen PDI-P: Sangat Baik, Bagai Ibu dan Anak

Bantah Kabar Retaknya Hubungan Jokowi dan Megawati, Sekjen PDI-P: Sangat Baik, Bagai Ibu dan Anak

Nasional
Survei Indikator: Erick Thohir Ungguli Bursa Cawapres setelah Timnas Indonesia Juara SEA Games

Survei Indikator: Erick Thohir Ungguli Bursa Cawapres setelah Timnas Indonesia Juara SEA Games

Nasional
Survei Indikator: Elektabilitas Anies Turun Sejak Juli 2022

Survei Indikator: Elektabilitas Anies Turun Sejak Juli 2022

Nasional
Kemenag Ingatkan Garuda Jemaah Haji Terlambat Berangkat Bisa Ganggu Tahapan Ibadah

Kemenag Ingatkan Garuda Jemaah Haji Terlambat Berangkat Bisa Ganggu Tahapan Ibadah

Nasional
Kemenag Minta Garuda Indonesia Taati Jadwal Penerbangan Jemaah Haji

Kemenag Minta Garuda Indonesia Taati Jadwal Penerbangan Jemaah Haji

Nasional
Hasil Rakernas Golkar: Airlangga Hartarto Tentukan Capres, Cawapres, dan Koalisi

Hasil Rakernas Golkar: Airlangga Hartarto Tentukan Capres, Cawapres, dan Koalisi

Nasional
Presiden Ucapkan Selamat Hari Waisak, Unggah Karikatur Biksu Thudong yang Disambut Ramah Warga

Presiden Ucapkan Selamat Hari Waisak, Unggah Karikatur Biksu Thudong yang Disambut Ramah Warga

Nasional
Ridwan Kamil Tunggu Arahan Golkar untuk Maju Pilgub DKI Jakarta

Ridwan Kamil Tunggu Arahan Golkar untuk Maju Pilgub DKI Jakarta

Nasional
Sekjen PDI-P Akui Erick Thohir Diusulkan PAN Jadi Cawapres Ganjar

Sekjen PDI-P Akui Erick Thohir Diusulkan PAN Jadi Cawapres Ganjar

Nasional
Sekjen PDI-P Klaim Komunikasi dengan Golkar Makin Intens

Sekjen PDI-P Klaim Komunikasi dengan Golkar Makin Intens

Nasional
Mochtar Pabottingi Meninggal Dunia, JK: Kita Semua Merasa Kehilangan

Mochtar Pabottingi Meninggal Dunia, JK: Kita Semua Merasa Kehilangan

Nasional
Nano Strategi, Cara Ganjar Bidik Suara Gen-Z di Pilpres 2024

Nano Strategi, Cara Ganjar Bidik Suara Gen-Z di Pilpres 2024

Nasional
Densus 88 Tangkap 3 Terduga Teroris di Banyuwangi, Tulungagung, dan Bima

Densus 88 Tangkap 3 Terduga Teroris di Banyuwangi, Tulungagung, dan Bima

Nasional
Ganjar: Bu Mega dan Pak Jokowi Bawa Pemikiran Politik Bung Karno

Ganjar: Bu Mega dan Pak Jokowi Bawa Pemikiran Politik Bung Karno

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com