Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ibrahim Haji Yaacob

Kompas.com - 08/10/2012, 03:43 WIB

Ketika mengikuti 5thMalaysia-Indonesia Strategic Bilateral Colloqium yang diselenggarakan Institute of Strategic and International Studies Malaysia dan Centre for Strategic and Internasional Studies Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu (7/9), teringat kisah tentang Ibrahim Haji Yaacob. Kisah ini pernah disampaikan sejarawan Asvi Warman Adam di harian ini, tiga tahun silam.

Alkisah, Ibrahim Haji Yaacob adalah Melayu keturunan Bugis. Ia lahir 27 November 1911 di Kampung Tanjung Kertau, Temerlok, Pahang. Leluhurnya merantau ke Pahang awal abad ke-20. Saat bersekolah di Maktab Perguruan Sultan Idris tahun 1928-1931 di Tanjong Malim, Perak, guru-gurunya mengajarkan gerakan nasionalisme India, Mesir, Indonesia, dan Jepang.

Tahun 1939, Ibrahim dengan beberapa rekannya mendirikan Kesatuan Melayu Muda. Ia sangat mengagumi Bung Karno. Dalam kesempatan bertemu Bung Karno dan Bung Hatta di Taiping, Tanjung Perak, Malaya, ia menyampaikan pikirannya: orang-orang Melayu ingin mencapai kemerdekaan bagi Malaya dalam kerangka Indonesia Raya. Dia mengusulkan agar kemerdekaan Malaya juga diumumkan akhir Agustus 1945. Di Indonesia, Ibrahim dikenal dengan nama Iskandar Kamel.

Di kemudian hari, Ibrahim diangkat menjadi anggota MPRS mewakili Riau. Cita-citanya tidak terwujud sampai ia meninggal di Jakarta, 8 Maret 1979. Memang, tidak mungkin mewujudkan gagasan itu. Apalagi kini, setelah kedua negara berkembang dengan keunggulan dan kekurangan masing-masing.

Namun, setiap kali muncul cabaran, tantangan, dan persoalan antara Indonesia dan Malaysia, ”gagasan” Ibrahim seakan hidup lagi. Memang, banyak cabaran antara Indonesia dan Malaysia, seperti diakui Timbalan PM Malaysia Tan Sri Hj Muhyiddin Hj Mohd Yassin saat membuka kolokium.

Kita bisa membuat daftar panjang cabaran yang ada. Sebutlah soal tenaga kerja Indonesia (TKI), perbatasan, dan warisan budaya. Soal TKI, misalnya. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Indonesia Anis Hidayah, ada setumpuk persoalan yang belum diselesaikan. Persoalannya dipahami, tetapi pertanyaannya, adakah kemauan kedua belah pihak untuk menyelesaikannya.

Secara resmi, jumlah TKI di Malaysia sebanyak 1,2 juta orang. Adapun sekitar 500.000 orang bekerja di Malaysia tanpa izin kerja. Menurut data Migrant Care Malaysia, ada 40.000-an anak TKI yang berusia di bawah 12 tahun. ”Mereka tidak mendapat akses pendidikan. Apakah kita akan membiarkan mereka menjadi TKI seperti orangtuanya,” kata Alex Ong Kian dari Migrant Care Malaysia.

Dalam soal perbatasan, masih segar dalam ingatan, berita hilangnya 1.400 hektar wilayah RI di Camar Bulan dan 80.000 meter persegi di Tanjung Datu yang ”diinvasi” Malaysia.

”Masalah di antara kedua negara gampang-gampang susah,” komentar Djisman S Simandjuntak dari CSIS. Tak cukup mengakui bangsa serumpun, hubungan itu harus terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.

”Dialog itu perlu dilakukan secara reguler. Libatkan media karena media memainkan peran sangat penting memberikan pemahaman kepada rakyat. Tidak ada yang menginginkan konfrontasi lagi. Tidak perlu!” kata Jusuf Wanandi dari CSIS.

PM Inggris zaman Perang Dunia II, Sir Winston Churchill, pernah mengatakan, ”Sekali seorang negarawan menabuh genderang perang, dia tak dapat lagi jadi tuan atas keputusannya, malah menjadi budak bagi kejadian yang tak teramalkan dan tak terkendalikan.”

Tentu, Ibrahim Haji Yaacob tidak menginginkan konfrontasi. Kita saudara serumpun dan semestinya semua cabaran itu tidak merusak hubungan kedua negara. (Trias Kuncahyono, dari Kuala Lumpur, Malaysia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com