Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jaga Lambusango, Jaga Kehidupan...

Kompas.com - 06/10/2012, 02:45 WIB

Perjalanan kami siang itu mendekati tujuan. Mobil pun melaju santai di jalan yang membelah desa, kebun, serta sungai sambil diselingi naik-turun dan kelak-kelok bukit. Hingga pada suatu titik, jalanan tadi menuntun pada lebatnya rimba nan hijau.

Ini sudah mau sampai lokasi,” ujar La Aete (60), tokoh warga Labundo-bundo, Desa Kakenauwe, Kecamatan Lasalimu, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, yang ikut dalam perjalanan dari Kota Bau-Bau itu, September lalu. Lokasi yang dimaksud adalah Cagar Alam Kakenauwe dan Suaka Margasatwa Lambusango.

Keduanya adalah bagian dari kompleks hutan Lambusango di jantung Pulau Buton. Jalan poros Bau-Bau-Kamaru persis mengiris Cagar Alam Kakenauwe di sisi utara-barat dan Suaka Margasatwa Lambusango di sisi timur-selatan.

Perjalanan sekitar empat kilometer menembus hutan itu diselimuti kesejukan udara segar. Suara berbagai burung dan jangkrik saling adu nyaring menyapa setiap pelintas. Pohon tinggi yang menjulang rapat di kanan-kiri jalan, memayungi dari teriknya mentari siang.

La Aete menjelaskan, hutan itu masih seperti kondisi aslinya sejak zaman leluhur dan menjadi rumah berbagai keanekaragaman hayati, khususnya endemis Sulawesi. Endemis itu di antaranya anoa, kuskus sulawesi, rangkong sulawesi, dan babirusa.

Warga Labundo-bundo yang bermukim di bibir hutan Lambusango memiliki kearifan lokal yang turut menjaga kelestarian alam itu. Salah satunya terbungkus dalam upacara adat bernama Bataana Tombi, yang berarti ’membanting bendera’. Ritual itu dilakukan tokoh adat dan perwakilan warga desa di dalam hutan.

La Aete mengatakan, salah satu prosesi melibatkan pengucapan sumpah yang mengutuk siapa pun yang merusak hutan secara sewenang-wenang, dengan kesulitan hidup. ”Upacara itu dilakukan lima tahun sekali. Dengan adanya sumpah itu, warga tak berani merusak hutan,” kata La Aete, yang juga mantan Kepala Desa Labundo- bundo itu.

Oleh karena itu pula, dulu setiap ada warga Labundo-bundo yang hendak membuka kebun di hutan harus memusyawarahkannya dengan warga dan tokoh adat. Berbagai hal harus dipertimbangkan sebelum keinginan membuka kebun disetujui.

”Harus dilihat dulu apakah lokasi kebun dekat dengan mata air atau tebing misalnya,” ujar La Aete. Hal itu penting agar keberadaan kebun tak mengganggu pasokan air dari hutan dan tidak menyebabkan longsor. Kini, praktik pembukaan kebun di hutan sudah tidak ada dan warga Labundo-bundo hanya memanfaatkan kebun yang ada.

Ekowisata

Dengan menjaga hutan, warga menuai manfaat lain. Salah satunya sumber mata air yang terletak di dalam hutan dan menjadi andalan bagi desa berpenduduk sekitar 300 jiwa itu tidak pernah kering pada musim kemarau panjang sekalipun. Padahal, banyak desa di Buton yang kesulitan air akibat karakter tanah berbatu kapur di pulau itu.

Selain itu, warga juga mendapat ”bonus” rezeki karena desa setiap tahun selalu kedatangan peneliti, siswa sekolah, dan mahasiswa asing dari sejumlah negara yang mempelajari atau sekadar berwisata di Lambusango.

”Musim kunjungan biasa berlangsung antara Juli-Agustus dengan jumlah hingga 300 orang yang datang secara bergelombang,” ujar La Aete.

Kunjungan itu dimulai sejak tahun 2001, dikoordinatori lembaga ekspedisi ilmiah asal Inggris, Operation Wallacea (Opwall). Hampir semua rumah di Labundo-bundo dipakai untuk tempat tinggal ”bule” itu. ”Ada juga yang menyediakan logistik, mencuci pakaian, menjual souvenir, hingga jasa pemandu hutan,” kata La Aete.

Untuk pemandu hutan, setiap pemandu di Laundo-bundo mengkhususkan diri pada satu jenis hewan tertentu. Ada yang ”spesialis” anoa, burung, kelelawar, monyet, kuskus, kupu-kupu, dan sebagainya. Hal itu dikarenakan setiap pemandu telah memahami lokasi, perilaku, dan siasat yang dibutuhkan agar bisa sukses mengamati satwa tersebut.

Sebagai contoh Naudi (29), salah seorang warga yang jadi pemandu ”spesialis” tarsius. Ia mendapat upah Rp 50.000 setiap mengantar rombongan peneliti atau mahasiswa asing yang hendak mengamati hewan mungil itu di habitatnya.

Naudi hafal betul sudut-sudut hutan di mana tarsius bisa ditemukan. ”Sebagian besar tarsius hidup di rongga-rongga pohon beringin. Ada juga yang tinggal di pohon tumbang atau tumpukan ranting,” katanya.

Pekerjaan itu menjadi tambahan penghasilan bagi lelaki yang sehari-harinya berkebun coklat, jambu mete, dan kelapa. Dalam satu musim kunjungan, berkisar 8-10 minggu setiap tahun, ia bisa mendapat penghasilan lebih dari Rp 2 juta.

Berdayakan masyarakat

Direktur Operation Wallacea Trust (OWT), lembaga swadaya masyarakat pelestarian lingkungan yang berpusat di Bau-Bau, Edi Purwanto mengatakan, Lambusango memiliki arti penting. Tak hanya menjadi rumah yang melindungi satwa endemis Sulawesi, tetapi juga merupakan sumber air bersih bagi sebagian Buton dan Kota Bau-Bau.

”Pelestarian hutan purba ini perlu terus dilakukan. Seperti hutan lain, Lambusango juga menghadapi ancaman pembalakan liar, perambahan permukiman dan kebun, hingga penambangan,” katanya.

Tahun 2004, OWT mendapatkan pendanaan dari Global Environment Facility untuk memfasilitasi program konservasi hutan Lambusango. Program itu efektif berjalan pada 2005-2008, bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra dan Pemerintah Kabupaten Buton.

Salah satu kegiatannya adalah membantu penciptaan dan pengembangan usaha kecil di desa sekitar Lambusango, seperti pengolahan dan pemasaran kacang mete, pertanian rumput laut, pertanian jeruk, dan pengolahan minyak kelapa. ”Ini untuk mengurangi ketergantungan masyarakat dari mengolah hutan,” kata Purwanto.

Pelibatan masyarakat dalam melestarikan hutan juga dilakukan dengan pembentukan Forum Hutan Kemasyarakatan Lambusango (FHKL). FHKL memiliki cabang di setiap desa dan kecamatan yang bersinggungan dengan Lambusango.

La Aete pernah menjadi Koordinator FHKL untuk Kecamatan Lasalimu. ”Forum itu salah satu fungsinya mengawasi hutan dari aktivitas perusakan sekaligus penyadaran kepada pelaku penebangan,” katanya. Sayang, saat program itu berakhir pada tahun 2008, berakhir pula keberadaan forum itu.

Peran serta masyarakat kian dirasakan penting jika melihat minimnya jumlah petugas yang dimiliki BKSDA Sultra untuk menjaga hutan itu. Kompleks hutan Lambusango yang terdiri dari Suaka Margasatwa Lambusango seluas 27.700 hektar dan Cagar Alam Kakenauwe seluas 810 hektar hanya memiliki tiga polisi hutan. Artinya, setiap petugas menjaga areal yang sama luasnya dengan 11.518 lapangan sepak bola setiap hari.

”Setiap tahun, kami mengajukan penambahan petugas. Namun yang dipenuhi pada tahun 2010 hanya satu orang,” kata Kepala BKSDA Sultra Sahulata Yohana. (M Final Daeng)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com